tag:blogger.com,1999:blog-65091183482763731302024-03-19T15:38:41.087+07:00KristusSatria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-26250521843681083522015-07-22T22:19:00.000+07:002015-07-22T22:19:12.020+07:00Natanael Siregar Ternyata Menolak Kristus<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9L0kD3eWRlwekcGspVbjuWXcBEwOl-3LQTFMNJVei0LOOFog3Ro8jRjNSh9Ge15zInUq0baU9gpxA8vKfxk2bX_KwjkRL9ELdg7p1ueWf_tkAFJCkHGjltJCJ77Qxvb00vV5euDBmxqGO/s1600/2015-07-22_22-17-56.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi9L0kD3eWRlwekcGspVbjuWXcBEwOl-3LQTFMNJVei0LOOFog3Ro8jRjNSh9Ge15zInUq0baU9gpxA8vKfxk2bX_KwjkRL9ELdg7p1ueWf_tkAFJCkHGjltJCJ77Qxvb00vV5euDBmxqGO/s320/2015-07-22_22-17-56.png" width="296" /></a></div>
<br />Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-87328304809990748892013-10-01T22:54:00.000+07:002013-10-01T22:54:16.984+07:00Arti Doa Bapa Kami<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Bapa kami yang ada di sorga… hmm… terus apa lagi
yeeh… aduh gw lupa lagi… Bapa kami yang ada di sorga… sekiranya Bapa langsung
aja baca kelanjutannya di alkitab yah, sebab sesungguhnya hambaMu ini lupa
kelanjutannya, maklumlah hamba adalah manusia yang tak sempurna… amin. Eh, ngga
bisa gitu dwong! Kita ngga boleh jadiin doa Bapa kami cuma sebagai hafalan
doang loh! Kita harus tau artian semua isi doa Bapa kami biar kalo kita
mengucapkan doa Bapa kami, Tuhan ngga nyindir kita : “lagi praktek ayat hafalan
nih mas…!”. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Kita bahas santai tapi ngerti yah. Temen-temen
boleh buka Matius 6:9-13.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Pertama : “Bapa kami yang di sorga,
Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah kerajaan-Mu,”. Kalimat ini merupakan sebuah
pujian kepada Bapa. Kekudusan nama Bapa ngga ditentukan oleh pengakuan kita,
tapi biarlah kita turut menyerukan kekudusan namaNya dan mengundangNya hadir di
dalam hidup kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Kedua : “jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di
sorga.”. Kalimat ini merupakan permohonan agar kehendakNya terjadi di sini
(dalam kita) seperti di sorga. Maksudnya? Maksudnya bgini, di surga <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place> yang ada hanya
sukacita & sukacita, dan biarlah sukacita juga selalu ada di dalam kita.
Bgimana bisa, keluarga gw berantem mlulu, temen gw ngecewain mlulu, dan anjing
pudel gw ngegong-gong mlulu, gimana gw bisa sukacita!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Begini loh… sukacita bukan ditentukan oleh
keadaan tapi oleh suasanan hati kita yang selalu bersyukur. Buktinya, banyak
orang kaya yang sakit-sakitan karena stress mikirin hartanya yang masiiiih aja
kurang, manusia <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place>
ngga pernah puas. So, masalah boleh ada, rintangan boleh ada, tapi kita selalu
tetap bersukacita dan tetap tangguh dalamNya, ngga stress. Maka, itulah yang
disebut suasana surga di tengah dunia yang nyebelin ini, asyik <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place>!<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Ketiga : “Berikanlah kami pada hari ini makanan
kami yang secukupnya”. Kalimat ini adalah sebuah permintaan agar kebutuhan kita
dicukupkanNya. Kebutuhan di sini bukan hanya makanan aja, tapi juga pakainan,
udara, dan kebutuhan yang lainnya. Inget,,, kebutuhan kita..! bukan keinginan
kita. Kita minta dengan cukup, bukan kurang atau lebih. Karena akibatnya bisa
fatal kalo ngga demikian sperti tertulis di Amsal 30: 8-9 (baca deh, ayatnya
ngasah otak banget!).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Keempat : “dan ampunilah kami akan kesalahan
kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami”. Kalimat
ini tegas banget bilang kalo dosa kita mau diampuni, kita juga harus
membereskan dendam kita sama orang lain (Matius 6:14-15). Makanya sering kali
doa kita ngga nyampe ke Tuhan karena kita masih menyimpan dendam sama orang
lain. Hendaklah amarahmu padam sebelum matahari terbenam. Berapa kali kita
harus mengampuni dalam sehari? 7X7X7 kali.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Kelima : ”dan janganlah membawa kami kedalam
pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat”. Maksud kalimat ini bukan
biar kita ngga punya masalah. Terjemahan aslinya kira-kira bilang begini : “dan
jangan biarkan jalan hidup kami menuju jalan yang menyimpang dari jalan-Mu”.
Jadi, biar Tuhan menuntun jalan kita agar kita ngga disesatkan iblis dan pada
akhirnya binasa. Guys, masalah datang bukan dari Tuhan, penyakit juga bukan
datang dariNya, tetapi Tuhan hanya “mengijinkan” itu semua terjadi untuk
membentuk karakter kita. Karena kita adalah anak Raja surga yang tangguh dan
berharga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Keenam : “Karena Engkaulah yang empunya Kerajaan
dan kuasa dan kemuliaan sampai selama-lamanya. Amin.”. Kalimat ini merupakan
pujian kepadaNya. So, di awali dengan pujian, dan diakhiri dengan pujian juga.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<br /></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Sahabat FOS, jadikan doa Bapa kami sebagai
contoh dasar doa kita. Doa Bapa kami memiliki beberapa unsur, yaitu: diawali
dengan pujian, ada pengundangan Tuhan hadir dalam hidup kita, ada permintaan,
ada pengampunan dosa, dan diakhiri pula dengan pujian kepadaNya. Doa Bapa kami
sebaiknya diucapkan setiap hari, tepatnya ketika kita mengawali aktivitas kita.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent">
<span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Nah, skarang ngga bingung lagi <st1:place w:st="on"><st1:state w:st="on">kan</st1:state></st1:place>…<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;">
<br /></div>
<br />
<div class="MsoBodyTextIndent" style="text-indent: 0in;">
<b><span style="font-family: StarbabeHmk; font-size: 9.0pt;">Hothlas_salah satu anakNya<o:p></o:p></span></b></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-54132488042912104012013-07-15T17:08:00.000+07:002015-01-04T23:17:54.808+07:00Sesederhana, Bagaimana Jika..<div class="notesBlogText clearfix">
<blockquote>
<em><strong>Bagaimana jika nanti, pikiranku menjadi terlalu rumit?</strong></em><br />
<em><strong>Bagaimana jika, aku tidak lagi merasa tentang-Mu di hatiku?</strong></em><br />
<em><strong>Bagaimana jika hari itu tiba, ketika hidupku penuh dikuasai oleh tatanan logika..</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Ingatkan aku tentang kasih-Mu yang berbicara dengan begitu sederhana..</strong></em><br />
<em><strong>Ingatkan
aku tentang tetesan air mata yang hangat, tentang bagaimana
pertolongan-Mu yang begitu lekat dan tentang indah-Mu yang selalu
kurasakan dekat…</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Namun, Jika pun nanti kumelangkah pada batas timur yang terjauh, kembalikanku pada-Mu..</strong></em><br />
<em><strong>Jika kuterhilang dan tak mampu membaca arah pulang, temukanku…</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Walau ratus atau ribu kali..</strong></em><br />
<em><strong>Walau terselubung riuh yang penuh..</strong></em><br />
<em><strong>Walau kelam atau pekat</strong></em><br />
<em><strong>Walau tak ada lagi janji yang kuingat…</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Lagi,</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Buat aku mendengar-Mu,</strong></em><br />
<em><strong>Buat aku mengembalikan arahku menuju-Mu..</strong></em><br />
<br />
<em><strong>Sesederhana semula..</strong></em></blockquote>
<br />
<br />
Ditulis oleh <a href="http://twitter.com/lunniey" rel="nofollow" target="_blank">@lunniey</a><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di
cerpuni@gmail.com </em><br />
<br />
<em> GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-33527812610787619152013-04-09T17:38:00.000+07:002013-07-24T21:02:34.788+07:00Sepatu<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWOu07ufgfNLWrJBipCwoxgOLdNAvmT2y5qA1SexDIv_zibfjBlD-_1bS2gOfWFzrAaLOUOYM8hrUtFW-VTkydgFMpIvySbHm00IRKHsxGhtAeBY2jda_PYC5HD9t4OIjz62hJCIXyekHt/s1600/oldshoes_wordpress.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="208" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhWOu07ufgfNLWrJBipCwoxgOLdNAvmT2y5qA1SexDIv_zibfjBlD-_1bS2gOfWFzrAaLOUOYM8hrUtFW-VTkydgFMpIvySbHm00IRKHsxGhtAeBY2jda_PYC5HD9t4OIjz62hJCIXyekHt/s320/oldshoes_wordpress.jpg" width="320" /></a></div>
Sudah satu minggu rumah begitu sepi. Tak ada suara orang berbincang,
tak ada suara televisi atau radio dinyalakan. Sepanjang waktu, dari pagi
ke siang, siang ke sore, sore ke malam, hingga pagi lagi, yang terasa
hanyalah dingin. Dan semakin dingin. Tak ada lagi kehangatan barang
seteguk. Wangi aroma racikan bumbu yang dulu selalu tercium dari dapur
di kala pagi kini telah sirna. Kata-kata rayuan untuk sarapan, apalagi.<br />
<br />
Senandung lagu-lagu cinta disela gemericik air senyap sudah. Tiada lagi terdengar riuhnya canda tawa. Semua <br />
lenyap
tertelan derasnya ombak kehidupan. Yang tinggal hanyalah derit pintu,
mempersilakan nyonya rumah untuk keluar di kala pagi. Kemudian diam,
menanti waktu hingga sang nyonya kembali di kala hari telah larut.<br />
<br />
Rumah
itu tak lagi seperti rumah pada umumnya. Bahkan penampilannya pun
layaknya rumah tak berpenghuni. Debu tebal dimana-mana, pohon perindang
di depan rumah yang tak terawat mulai mengering. Daunnya berserakan
memenuhi halaman. Mungkin si pemilik rumah terlalu sibuk, tak punya
waktu untuk urusan yang demikian.<br />
<br />
Hampir bersamaan
dengan kepergian Dina untuk KKN di Blora, kira-kira lima pekan yang
lalu, Wening semakin giat memberikan ceramah kepada Sabar. Kepergian
putri semata wayang mereka laksana sebuah kesempatan emas bagi Wening.
Setiap sore setelah pulang kerja, ada saja tema untuk mengkhotbahi
suaminya yang ia sebut sebagai pria tak bertanggung jawab itu.
Semangatnya begitu menggebu-gebu. Kadang ia juga begitu ringan
mengangkat telunjuknya untuk menuding muka Sabar di sela rentetan
kalimat yang amat pedas itu.<br />
<br />
Pagi ini di kantor, Wening
terlihat begitu serius. Tangannya memegang sebuah benda. Matanya begitu
teliti mengamat-amati benda itu. Benda yang sangat istimewa, salah satu
pemberian Sabar dikala mereka menikah dulu. Benda yang sempat ia simpan
selama dua puluh tiga tahun. Benda itu masih utuh, masih mulus.
Warnanya pun masih sama seperti dulu di saat ia membukanya dari dalam
kotak bingkisan berwarna merah jambu. Benda yang selalu rela
diinjak-injak untuk melindungi tuannya. Benda yang sarat akan makna:
sepatu.<br />
<br />
Tadi, tergesa-gesa melangkah karena dipanggil
atasan, Wening sempat hampir jatuh karena sepatu dengan hak setinggi
lima belas centi yang dipakainya itu. Spontan, ia duduk di kursinya,
mengusap-usap kakinya yang terkilir dengan balsam dan melepas sepatu
itu. Ia taruh begitu saja sepatu itu di atas meja. Tiba-tiba bak kaset
film yang diputar ulang, dalam otaknya mengalir deras ingatan tentang
pesan yang tersimpan di balik sepatu dengan warna favoritnya: warna
ungu.<br />
<br />
Begitu jelas tergambar di dalam ingatan,
bagaimana dulu ketika ia duduk bersanding bersama Sabar, untuk
mengucapkan janji setia untuk saling menerima di dalam suka maupun duka,
sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, hingga maut memisah raga. Saat
itu Wening begitu lantang mengucap janji sucinya.<br />
Khotbah pendeta
yang kala itu mengangkat tema Sepatu, seakan didengarnya kembali.
Bergema begitu keras di telinganya. Dulu, ia mendapat bekal bagaimana ia
harus bisa menjadi Istri: Ingat Suami Terus setiap haRI. Belum lagi
bagaimana makna yang terkandung di dalam Sepatu. Pendeta mengatakan,
pasangan suami-istri hendaklah seperti sepatu, yang tak pernah sama
persis bentuknya, tetapi serasi. Tak pernah berganti posisi, namun
saling melengkapi. Meski tak pernah berjalan bersama, tetapi selalu
beriringan. Meski geraknya berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama.
Selalu setara, sederajat, sama tingginya, tidak tinggi sebelah. Dan tak
akan memiliki arti lagi jika pasangannya hilang.<br />
<br />
Wening
mendesah. Di tariknya nafas dalam-dalam. Air matanya tak tertahan.
Jawaban “Ya, dengan segenap hati” yang begitu tegas ia sampaikan di
depan altar dulu, kini terasa menyiksa batinnya. Sejak Sabar di PHK dua
tahun lalu, Wening kehilangan keseimbangan. Ia merasa dirinyalah yang
kini menjadi tulang punggung keluarga. <br />
Mungkin ia merasa jenuh, tertekan. Mungkin juga galau, atau apalah namanya.<br />
<br />
Dulu
gajinya selalu utuh 100% masuk ke dalam rekening pribadinya. Biaya
hidup sehari-hari selalu bersumber dari penghasilan Sabar. Ia tinggal
acungkan saja jarinya untuk menunjuk apa yang ia inginkan. Kini setelah
Sabar di PHK, Sabar seperti menghambur-hamburkan uang. Usahanya untuk
berwiraswasta selalu merugi. Dari bertani jamur hingga membuka usaha
laundry, belum pernah berhasil. Mungkin karena ketatnya persaingan, atau
mungkin juga belum rejeki. Yang jelas, Sabar tak pernah menganggapnya
sebagai takdir. Terakhir, Sabar mencoba beternak itik. Sayang usahanya
kali ini pun tak begitu menjanjikan, meski masih terus ia perjuangkan.
Malang, pekerjaan ini bagi Wening dianggap begitu jorok. Membuatnya
turun prestise di kampus. Bagaimana mungkin seorang pembantu rektor
bersuamikan peternak itik? Apa kata mahasiswanya jika mereka tahu!<br />
<br />
Tiga
bulan berlalu, keadaan belum membaik. Semakin parah bahkan. Sore itu,
tak disangka Pendeta bertandang kerumahnya. Menanyakan kabar, yang
dijawab dengan begitu terbuka oleh Wening. Ia sampaikan segala isi
hatinya.<br />
“Sudah hampir dua puluh lima tahun saya memendam rasa ini!”<br />
“Apakah Ibu sudah berusaha memaafkan kesalahan suami Ibu?”<br />
“Ya, saya memaafkan. Dengan tulus saya maafkan. Tetapi saya sudah tidak tahan. Sudah hampir dua puluh lima tahun Pak!”<br />
Pendeta
itu dibuatnya bingung. Tak mengerti maksud kata-kata Wening. Bagaimana
ia bisa mengatakan kesalahan Sabar telah ia maafkan jika ia memendam
kepahitan itu? Bagaimana ia bisa mengatakan telah memaafkan tetapi tak
pernah melupakan kesalahan-kesalahan Sabar yang tampak sepele? Kata-kata
“hampir dua puluh lima tahun” selalu ia bawa. Apakah sepanjang
kehidupan rumah tangganya ia tak pernah mencintai suaminya? Tak pernah
merasa bahagia? Atau mungkin hanya karena ia kurang bersyukur?<br />
Seperti
kentang yang terus ditimbun ke dalam karung. Setiap Sabar melakukan
sesuatu yang dianggap salah, Wening menambahkannya ke dalam daftar
timbunan kesalahan Sabar. Yang pada akhirnya membusuk, berbau dan
menjadi beban berat bagi dirinya sendiri. <br />
Suasana menjadi beku. Kaku. Semua diam. Sesekali Sabar melirik istrinya. Wening masih terlihat garang, merah membara. <br />
“Dina belum pulang?” Pendeta mengalihkan pembicaraan, mencairkan kebekuan.<br />
“Wah...pulang malam itu biasa Pak, bagi Dina. Bahkan kadang sering tidak pulang.” Papar Sabar terang-terangan.<br />
<br />
Ya,
sejak Dina mencium aroma konflik antara ayah dan ibunya, ia sering
menjadikan skripsinya sebagai alasan untuk pulang malam, bahkan tidak
pulang ke rumah. Sebenarnya Ia merasa tersiksa dengan sikap ibunya yang
terus-menerus menyulut bara di rumah itu. Maka dari itu ia lebih memilih
untuk menyingkir. Ia kini juga telah berubah. Pembawaannya sedingin
salju. Penampilannya lusuh, tak lagi rapi dan ceria seperti dulu.<br />
<br />
Waktu
terus bergulir. Matahari yang setia menjemput pagi tak mampu memberikan
asa baru yang penuh harapan demi datangnya kehangatan cinta. Sabar
harus semakin bertambah sabar karena kini Wening tak mengijinkannya
tidur di dalam rumah. Teras rumah adalah pilihan kedua setelah dinginnya
tempat jemuran di atas rumah tak sanggup ia taklukkan.<br />
<br />
Tak mampu lagi ia sembunyikan ketidakharmonisan rumah tangganya di depan tetangga, yang curiga dengan tingkahnya.<br />
“Belum tidur Pak?” tanya Badrun yang kebetulan melintas pada suatu malam.<br />
“Belum, cari angin.”<br />
Siapa percaya dengan omong kosong Sabar? Dinginnya malam menusuk tulang ia kata cari angin?<br />
Sebenarnya
Wening telah beberapa kali mengusir Sabar. Tetapi Sabar tak bergeming.
Ia tak mau meruntuhkan rumah tangganya begitu saja. Di dalam benaknya,
ia berharap agar suatu saat bisa kembali rukun dengan istrinya. Walau
mungkin lebih tepatnya ia masih sabar menunggu sampai istrinya mereda.
Meskipun dirinya tak pernah tahu entah kapan itu bisa terwujud.<br />
<br />
“Apa yang kau tunggu? Angkat kaki dari rumah ini atau aku tusukkan juga pisau ini ke tubuhku!” ancam Wening suatu ketika<br />
<br />
Kejadian
itu semakin memperkeruh suasana. Hampir satu minggu Dina tak pulang.
Apa yang telah ia saksikan di rumahnya sendiri terasa lebih mengerikan
dari film horor yang pernah ia tonton di sepanjang hidupnya.<br />
“Apa
yang harus saya perbuat Pak? Saya tidak mau keluarga saya hancur hanya
karena tingkah istri saya. Apakah saya salah jika memiliki usaha ternak
itik? Apakah itu terlalu menjijikkan? Jorok? Hina? Selama ini saya juga
berusaha menggantikan tugas istri saya mengatur rumah tangga. Mungkin
memang sedikit aneh karena tugas kami seperti tertukar. Tetapi lihat
sekarang! Sejak saya tak boleh masuk ke dalam rumah, bahkan tak boleh
menyentuh perabotan di dalam rumah. Rumah tak lagi terurus, cucian
menumpuk, debu dimana-mana, tak layak tempat tinggal itu di sebut
sebagai rumah. Bahkan yang paling parah, sekarang anak kami
satu-satunya, Dina, tak lagi tinggal bersama kami, entah dimana dia.
Saya coba menghubungi nomor HPnya, saya cari dia ke rumah
teman-temannya, saya tunggu dia di depan kampusnya, tetapi hasilnya
nihil. Apa yang mesti saya perbuat Pak? Pasrah saya, pasrah...” Sabar
mencurahkan isi hatinya kepada Pendeta.<br />
<br />
“Tetaplah
mengasihi dengan sabar, dan tetaplah berdoa” hanya itu pesan Pendeta.
Singkat, tetapi tak mudah. Sabar diam, dalam hati ia berpikir, apa
alasan orang tuanya dulu memberinya nama Sabar? Apakah memang untuk
menanggung beban berat seperti yang ia terima sekarang?<br />
<br />
Memaafkan
dan melupakan setiap kesalahan yang dilakukan Wening, seakan harus
menjadi menu wajib Sabar setiap hari. Bertemu tetapi tak ada senyuman,
tatapan kasih, apalagi sapaan. Kadang Sabar merasa sangat disepelekan,
direndahkan. Pepatah 'tak ada uang abang dibuang' adalah ungkapan yang
sangat cocok untuk disandangnya sebagai gelar.<br />
<br />
Sore
hari, Wening pulang lebih awal dari biasanya. Sesuatu yang sangat tidak
lazim. Apalagi ia terlihat begitu bersemangat untuk menemui lelaki lima
puluh tahun yang masih sah sebagai suaminya itu. Wening menyapa Sabar
dengan nada yang begitu lembut, dengan senyum simpul dibibir merahnya.
Tanpa amarah. Akh... mungkinkah tirai mulai terbuka???<br />
<br />
Mungkinkah
sepatu pemberian Sabar berhasil mengingatkan Wening akan janji sucinya
terhadap pernikahan yang telah ia sepakati tanpa paksaan di kala itu?
Apakah Wening akan menggenapi pesan tersirat dari sepatu? Apakah Wening
telah meruntuhkan keegoisannya? Atau mungkin ia telah menyadari
bagaimana seharusnya ia menerima Sabar apapun dan bagaimanapun
keadaannya? Bukankah ia masih sudi mengenakan sepatu pemberian Sabar
itu?<br />
<br />
Dengan menahan derai air mata Wening menghampiri
Sabar dan berlutut didepannya. “Maafkan aku Mas, aku begitu egois.
Kebersamaan kita selama ini tak kuanggap. Pengorbanan dan cintamu selama
ini aku abaikan. Aku terlalu sibuk mengasihani diriku sendiri, sampai
aku lupa segalanya,” aku Wening penuh penyesalan. Ia semakin tertunduk
dan semakin membungkuk. Namun belum sampai ia mencium kaki suaminya,
Sabar telah lebih dulu menarik bahu Wening, mengajaknya berdiri dan
merapatkannya dalam dekapan. “Disinilah tempatmu, bukan diujung kaki.
Karena kamu adalah tulang rusukku, pelindungku,” bisik Sabar diakhiri
dengan kecupan di kening Wening. Wening semakin terisak. Ia dekap erat
tubuh Sabar sambil membisikkan: “Terima kasih untuk sepatu itu, sepatu
itulah yang telah menyadarkanku Mas. Engkau memang begitu sayang padaku.
Hanya saja aku yang selama ini tak mempedulikanmu...” “Sstttt...
sudah!” Sabar menghentikan Wening. “Yang penting sekarang kita memulai
hidup baru dan mengisi hari-hari kita dengan cinta.” “Dan aku mau
memperbaharui janji kita supaya kita bisa mewujudkan janji kita untuk
sepatu,” sahut Wening sambil menahan isak tangis. “Sejalan Sampai Tua,”
ucap Sabar dan Wening bersamaan. Dari kejauhan Dina melihat ayah dan
ibunya yang tengah berpelukan. Ia mendekat, namun tetap berusaha agar
tak terlihat oleh Sabar dan Wening. Jantungnya berdegup kencang. Matanya
basah. Ia berbisik lirih: “Terima kasih, Tuhan. Engkau baik!”<br />
<br />
<br />
Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/endang.lestari.9022">Endang Lestari</a><br />
<br />
<i>Kalo kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di <a href="https://www.facebook.com/notes/cerpuni-cerpen-dan-puisi-rohani/cerpen-sepatu/445629632178329#" role="button">cerpuni@gmail.com</a></i><br />
<br />
<i>GBU :)</i>Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-6188286420949486562013-04-03T20:31:00.000+07:002013-07-24T20:43:57.356+07:00Duta<div class="notesBlogText clearfix">
Aku berjalan dalam
kebingungan karena keadaan di sekitarku begitu berbeda dengan keadaan di
Negaraku. Di sinisaling mengumpat, mencaci maki dengan kata-kata cabul
begitu normal, bahkan mereka dengan sukacita melakukannya. Padahal jika
di Negaraku, orang yang berani melakukan itu semua apalagi
terang-terangan di pinggir jalan sepertiitu, pastilah akan langsung
ditangkap dan dipenjara.<br />
<br />
“Hei, apa kamu lihat-lihat! Mau dihajar?! Heh? Hahahha. Dasar orang gila!”<br />
<br />
Aku
diam saja mendapat hardikan dari salah satu di antara mereka dan saat
mereka mulai mentertawakanku lagi,aku memilih untuk meneruskan
perjalananku. Ya, aku harus segera sampai ketempat tujuanku agar
kebingungan ini segera terselesaikan. Aku membelokkan kakiku ke arah
jalan berbatu yang menuju hutan lebat. Keheningan hutan begitunyaman di
telingaku, setelah berhari-hari aku mendengarkan hiruk pikuk orang-orang
yang mengajukan protes di jalan-jalan besar perkotaan dengan
suara-suara protes mereka yang memekakkan telinga. Entahlah apa yang
mereka protes. Karena di Negaraku tidak pernah ada segerombolan orang
yang berteriak dijalanan kota seperti itu. Istilah-istilah yang mereka
pakai pun aku tidak mengerti. <br />
<br />
Suara alam terdengar
ketika kakiku mulai memasuki sejuknya hutan yang mulai melantunkan irama
kedamaian.Ah, rasanya sudah lama sekali aku tidak merasakan kedamaian
dan kesejukan seperti ini. Sudah sangat lama, entah sejak kapan, yang
pasti hidupku mulai dihiasi dengan cerita-cerita seronok, bahkan tempat
tinggalku berada di antara orang-orang yang memiliki kebiasaan minum
anggur hingga mabuk dan mulaiberteriak-teriak melantur di tengah malam.
Sering kali ketika hampir pagi aku dibangunkan dengan suara – suara
perkelahian akibat kalah judi, kalah taruhan atau rebutan pelacur. Aku
heran darimana asal permainan itu? Sungguh permainanyang dapat dengan
sangat mudah membuat orang berkelahi bahkan kehilangan nyawanya. Ah, aku
harus segera menuju bukit di belakang hutan ini sebelum malam tiba.<br />
<br />
Aku
mulai merangkak menaiki bukit. Kembali kurenungkan awal mula
penugasanku ke negara ini. Waktu itu aku tidak berpikir akan seberat ini
melakukan tugas sebagai Duta dari Negaraku, karena ketika kubaca Surat
Keputusan penugasanku dan kubaca dengan teliti daftar tugas yang harus
kukerjakan, tidak ada pekerjaan yang berat dan sulit.Tugas-tugas itu
sudah sangat biasa dilakukan di Negaraku, karena sudah menjadi budaya
masyarakat di Negaraku. Waktu itu aku berpikir, "sungguh aneh daftar
tugas ini, bukankah semua itu hal yang biasa? Semua aturan yang sudah
menyatu dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di sini? Hahaha,
rupanya tugas Duta negara itu sangat mudah". Tapi, sewaktu aku tiba di
negara dimana aku ditugaskan, aku tidak mendapati satu pun kebiasaan
masyarakat di sini yang sama dengan masyarakat di Negaraku. Kalau pun
aku melihat ada beberapa orang yang melakukannya, itu karena mereka
adalah salah satu Duta seperti diriku.<br />
Hari hampir malam, aku
hampir tiba. Setelah sampai nanti aku akan langsung melaporkan semuanya
dan aku akan membujuk raja agar dapat mengeluarkan Surat Keputusan
kepulangan ke Negaraku.Hal ini sudah kupertimbangkan dengan matang.
Semoga permohonanku dikabulkan sebelum aku menjadi betul-betul gila
seperti umpatan para pemuda di pinggir jalan siang tadi.<br />
<br /><span class="photo "><img alt="" class="photo_img img" src="https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/s720x720/64473_545833668794752_1793534853_n.jpg" title="" /></span><br /><br />
Akhirnya
aku tiba di pintu Istana Negaraku tepat tengah malam yang dihiasi sinar
bulan purnama. Pintu dibuka oleh penjaga Istana yang tersenyum ramah.
Ahh, rasanya lama sekali tidak merasakan sukacita dan kedamaian seperti
ini. Ya, itu adalah ciri khas Negaraku.Damai dan sukacita. Tidak
membuang waktu, aku langsung menuju ke balkon, tempat Rajaku sering
menikmati sinar bulan purnama seperti malam ini. Benar saja,kudapati
Raja sedang duduk santai di kursi goyangnya menikmati sinar bulan,
semilirnya angin dan memandang ke depan, pada sinar-sinar lampu
kehidupan dibawah bukit tempat aku ditugaskan.<br />
<br />
Dengan terengah-engah karena seharian berjalan menuju Istana Negara, aku mulai menyapa Raja.<br />
“Rajaku, apakah aku dapatbergabung menikmati sinar bulan malam ini?”<br />
“Hahaha,
anakKu kemarilah. Aku sudah tahu kamu akan datang malam ini.” Raja
berdiri menghampiri dan memelukku.Ya, untuk bertemu Raja di Negaraku
bukanlah hal yang sulit dan penuh dengan birokrasi serta prosedur
seperti di negara tempat aku ditugaskan. Di sini Raja sangat membaur
dengan rakyat, bahkan Rajaku sering mengunjungi rakyat hanya sekedar
untuk berbincang, bersenda gurau, bahkan turut turun ke ladang padamasa
menabur benih dan masa panen. Ya, entah kenapa di negara tempat aku
ditugaskan tidak kudapati pemimpin seperti Rajaku.<br />
<br />
Kami
duduk bersama dan memandangi keindahan sinar-sinar lampu kehidupan di
bawah bukit sana tempat akutinggal beberapa tahun ini.<br />
<br />
“Apa
yang hendak kamu sampaikan,Nak? Bukankah belum waktunya kamu kembali?
Aku lihat pekerjaanmu di sana belumlah selesai.” Tanya Rajaku sambil
menunjuk ke arah bawah bukit.<br />
“Ya, entahlah Raja. Bagian
pekerjaanku yang mana yang belum terselesaikan. Selama ini aku sudah
melakukan tugas-tugasku walaupun dalam kebingungan. Mungkin walaupun
sudah bertahun-tahuntinggal di negara tempat aku ditugaskan tapi aku
belum mampu beradaptasi dengan baik. Karena di sana begitu berbeda
dengan keadaan di sini, di Negara kita.”<br />
“Hahaha. Aku melihat kamu
sudah membaur namun tidak larut dan itu kupandang sangat baik.
Tugas-tugas apa saja yang telah kamu lakukan di sana, anakKu?”<br />
“Ya,
seperti yang tertera dalam Surat Pengutusan yang isinya di sana aku
hanya menjalankan kebenaran, kasih, kelembutan, kesantunan, kebaikkan,
kejujuran dan pengampunan.”<br />
“Lalu?”<br />
“Ya, tugas-tugas itu hal
yang biasa dilakukan dalam kehidupan di Negara kita dan itu bukan hal
yang sulit untuk dilakukan di sini.”<br />
“Kamu mendapat kesulitan di negara tempat kamu Kutugaskan?”<br />
“Ya,
kalau aku pribadi tidak sulit, karena itu sudah dilakukan sejak aku
lahir, sejak dari keluargaku disini Raja. Tapi di negara sana sangatlah
berbeda, di sana aku dipandang orang gila.”<br />
“Ceritakanlah.”<br />
“Tidak mudah mengaplikasikankebenaran di tengah keadaan yang mentertawakan kebenaran. Seringkali aku dianggap kaku, <i>religius </i>dan
bahkan ada yang menuduhku munafik. Tetapijika ada orang yang sama
dengan mereka barulah mereka anggap kawan. Aku sering diejek, dianggap
lelucon bahkan beberapa julukan<i> icon</i> keyakinan tertentu ditujukan padaku. Sepertinya mereka alergi dengan kebenaran.”<br />
Karena Raja masih diam, maka akupun melanjutkan laporanku.<br />
<br />
“Tidak
mudah menerapkan kasih dan kelembutan, di tengah keadaan yang
melegalkan kekerasan. Pernah adasegerombolan yang protes di jalan-jalan
perkotaan. Mereka protes pada raja mereka. Pada mulanya aku mendengar
aksi protes mereka karena membela rakyat.Tapi semakin lama, aksi protes
mereka mulai dihiasi kekerasan. Mereka membakarkendaraan yang ada.
Padahal yang punya kendaraan itu tidak mengerti apa-apa.Bahkan mereka
mulai melempar batu-batu ke arah pengawal-pengawal raja mereka.Dan yang
parah ada yang sampai menjarah toko-toko tempat rakyat merekaberjualan.
Aku melihat yang dirugikan sebenarnya rakyatnya juga. Saat aku
menghampiri beberapa dari mereka untuk melakukan protes dengan jalan
damai,bicara baik-baik. Tapi mereka malah menjawab jika tidak dengan
kekerasan maka tidak akan dikabulkan aksi protes mereka. Kekerasan itu
hal yang biasa.”<br />
<br />
Aku lihat Raja masih mendengarkanku, maka aku melanjutkan laporanku.<br />
<br />
“Tidak
mudah berlaku santun ditengah keadaan yang memandang kesantunan sebagai
sebuah kebodohan. Aku berpakaian pantas dengan tidak seronok, aku malah
dianggap tidak modern sepertimereka. Saat aku tidak mau berkata-kata
cabul dan mengumpat dengan sebutan nama-nama binatang, mereka bilang aku
ini kampungan dan bodoh serta kurang pergaulan. Aku seperti alien yang
asing dan tidak normal di tengah mereka.”<br />
Kembali aku melanjutkan,<br />
<br />
“Tidak
mudah berlaku kudus ditengah keadaan yang menganggap kekudusan itu
aneh. Aku tidak pernah melakukan seks bebas atau melecehkan siapapun.
Tapi mereka menganggapku aneh dan tidak normal, dan ketika kusarankan
agar melakukan seks di dalam pernikahan, mereka malah meludahiku dan
mentertawakanku. Ketika aku tidak ikut berjudi dan mabuk-mabukan, mereka
menjulukiku bayi." <br />
<br />
"Tidak mudah memberikan kepedulian
di tengah keadaan yang menomorsatukan keegoisan. Ketika aku memberikan
bantuan kepada orang lain yang menurut pandanganku membutuhkan,dengan
keras aku disuruh untuk menyingkir dan tidak boleh membantunya.Karena
bagi mereka hal itu sudah biasa. Mereka lebih dulu mengutamakan
kepentingan sendiri daripada menolong orang lain. Jadi kebaikan yang
kutawarkan dianggap menghina mereka yang sudah biasa hidup egois.”<br />
<br />
Aku diam, menunggu tanggapan Rajaku.<br />
<br />
“Teruskanlah laporanmu, Nak. Akutahu masih banyak yang ingin kamu katakan.”<br />
<br />
“Raja,
tidak mudah memberikan kebaikan di tengah keadaan yang penuh curiga dan
ketakutan. Saat aku membantuseseorang aku malah dicurigai mau menipu
mereka. Mereka tidak percaya pada kebaikan, mereka cenderung takut pada
kebaikan, mereka takut menjadi tidak waspada dan akhirnya mendapatkan
kerugian. Tidak mudah menjunjung kejujuran ditengah keadaan yang
menganggap kebohongan sebagai suatu strategi yang cerdik.Banyak dari
mereka yang biasa dengan berbohong, bahkan aku mendapatkan kalimat baru
yang tidak ada di Negara kita yaitu ‘berbohong demi kebaikan’ dan hal
itu dianggap sangat baik. Belum lagi berbohong untuk membujuk, mereka
anggap itu strategi yang cerdik untuk kelanjutan hidup mereka. Yang
terakhir Raja, tidak mudah mengajarkan pengampunan di tengah keadaan
yang penuh dengan dendam.Banyak peristiwa karena dendam pribadi, orang
yang tidak ada sangkut pautnya kehilangan nyawa. Bentrokan terjadi,
perkelahian, bahkan pembunuhan yang berawal dari dendam. Dan aku
mendapatkan kalimat baru lagi yang juga tidak ada di Negara kita yaitu
‘’kamu jual aku beli.”<br />
<br />
“Lalu apa artinya semua
kebenaran, kasih, kelembutan, kesantunan, kekudusan, kepedulian,
kebaikan,pengampunan dan kejujuran? Jika keadaan yang normal adalah
keadaan yang sebaliknya dari itu semua, Raja?”<br />
“Karenanya aku mau
pulang saja, kulihat tidak ada yang harus kuperbaiki. Mereka terlihat
sangat bahagia, nyaman dan puas dengan keadaan yang Engkau pandang
sebagai kesalahan. Tidak usahrepot-repot menghampiri mereka, menawarkan
kebaikan-kebaikan pada mereka karena mereka baik-baik saja. Bahkan
mereka tertawa terbahak di tengah keadaan itu semua, mereka hanya sedang
menikmati kehidupan yang ada. Kehidupan yang singkat ini. Bukankah itu
baik? Mereka menikmati hidup ini dengan segala keluhan dihari mereka
sebagai luapan kenikmatan. Tidak hanya satu orang yang begitu,hampir
semua orang yang kujumpai juga begitu. Hanya segelintir orang saja yang
memilliki rasa dan pandangan yang sama denganku, yaitu mereka yang
Engkau pilih juga untuk menjadi DutaMu.’’<br />
<br />
“Aku mau
pulang saja Raja,karena aku lebih betah di Negara kita. Di sini apa yang
kubawa, apa yang kukerjakan, apa yang kuberikan kepada mereka, adalah
hal yang normal yang sudah biasa kita lakukan tidak seperti di sana, di
negara tempat aku ditugaskan. Seringkali aku dihujani dengan hujatan,
cacian, dan pengusiran. Karena dianggap telah mengusik kenyamanan
mereka.”<br />
<br />
“Lihatlah, Raja! Lihatlah mereka! Mereka
baik-baik saja. Mereka nyaman dan bahagia. Aku jadi merasa bersalah
karena ketika aku datang kebahagiaan dan kenyamanan mereka
terganggu,lalu aku melihat sorot kepedihan dan ketakutan di mata
mereka.” Kataku padaRaja sambil menunjuk ke arah bawah bukit.<br />
<br />
“Engkau
salah, Raja! Engkau terlalu berlebihan. Ah, mereka baik-baik saja
sebelum aku datang. Maka, dengan alasan-alasan tadi aku mengajukan
percepatan masa tugasku. Bukankah jika tidak ada yang dapat kulakukan
lagi di sini aku bisa pulang? Berarti aku bisa minta Surat Keputusan
kepulanganku bukan? Sebelum aku semakin gila dan aku takut menjadi sama
dengan mereka.”<br />
<br />
‘’Tidak! Kamu belum boleh pulang, Nak! Pekerjaanmu belum selesai. Semua duta-dutaku belum boleh ada yang pulang.”<br />
“Ah, ini buang-buang waktu saja. Apa lagi yang harus kami lakukan?”<br />
“Tetap lakukan kebenaran, kebaikan, kesantuan, kekudusan, kejujuran, kasih pengampunan dan kepedulian.”<br />
“Sampai
kapan?! Aku mulai jengah dengan tugas-tugas ini. Ibarat aku ini jualan
sepatu di tengah-tengah orang yang sejak lahir tidak mengenal sepatu.
Mereka tidak membutuhkan sepatu! Mungkin kau salah menempatkanku?
Mungkin ada tempat lain yang lebih pantasuntuk kuberikan 'sepatu'?.<br />
“Tidak! negara itu tempat yang tepat! Tugasmu tetaplah perkenalkan ‘sepatu-sepatu’ yang kau bawa.<br />
“Tapi,
sampai kapan?? Aku tidakingin terlalu lama di sana. Aku takut semakin
lama aku tinggal, semakin aku serupa dengan mereka. Bahkan sudah banyak
di antara kami yang Kau tugaskan mulai sama dengan mereka bahkan ada
yang sudah seperti mereka. Aku tidak mau seperti itu. Tidakkah kau
kasihan padaku?”<br />
“Aku mulai mencium kekhawatiran dan keegoisan ada
dalam dirimu. Darimanakah kamu dapatkan itu? Aku tidak membekali hal
itu padamu.”<br />
“Oh, ya?! Wah, berarti aku harussegera pulang! Aku
sudah mulai seperti mereka. Kumohon, berilah aku Surat Keputusan
kepulanganku, Raja. Karena aku tidak mau seperti mereka. Terlebih aku
tidak mau menjadi orang yang tidak memiliki identitas Negara kita lagi.”<br />
“Tidak! Karena belum waktunya.Kembalilah kepada mereka dan lakukanlah segala tugas-tugasmu.”<br />
“Tidakkah keputusanMu dapat diubah? Sekali lagi ijinkanlah aku pulang dan kembali mengabdi padaMu di sini,di Negara kita ini.”<br />
“Lakukanlah pekerjaanmu di negara itu sebagai bentuk pengabdianmu kepadaKu, Nak.”<br />
“Baiklah!
Baiklah! Aku akan kembali pada mereka dan menjalankan tugas-tugasku,
tapi bisakah persenjataan dan perbekalanku di tambah?”<br />
<br />
“Ya,
Aku akan memperlengkapimu.Aku akan memberimu perisai agar kau terhindar
dari lemparan, pukulan, tendangan dan segala macam bentuk serangan
mereka. Dan Aku juga akan memberimu mata yang berbeda, yaitu mata
sepertiKu serta hatimu akan Kuperbaharui dengan hatiKu.”<br />
“Baiklah. Kapan semua itu diberikan kepadaku?”<br />
“Saat ini juga. Berlututlah dan pejamkanlah matamu serta berdiam dirilah.”<br />
<br />
Aku menuruti perintah Rajaku.<br />
<br />
“Nah, sekarang bukalah matamu dan berdirilah. Lalu berbaliklah kepada mereka.”<br />
“Sebelum kamu kembali kepada mereka. Berbaliklah, menghadaplah ke arah bawah bukit itu. Apa yang kau lihat?”<br />
“Ouw!!
Ihh!! Pemandangan apa ini? Kenapa banyak dari mereka terlihat berdarah?
Dan bau apa ini? Uh, aku tidak pernah melihat pemandangan yang
mengenaskan seperti ini sebelumnya. Dan suara apa itu??? Mereka terlihat
tertawa tetapi kenapa aku mendengar jeritan kepedihan dan tangis putus
asa? Bisakah kau jelaskan semua ini? Apa yang terjadi dengan mereka?<br />
<br />
“Sesungguhnyak
Nak, itulah keadaan mereka yang sebenarnya. Orang-orang yang akan
binasa adalah orang-orangyang mentertawakan kebenaran, yang menganggap
keegoisan adalah kenikmatan, yang menganggap kekudusan, kesantunan,
kepedulian, dan kejujuran suatu kebodohan.Mereka berkawan dengan
kekerasan, dendam dan melecehkan kasih.”<br />
<br />
“Kasihan
mereka! Mereka tidak pernah merasa ‘sakit’, mereka menganggap diri
mereka baik-baik saja. Bahkan menganggapku yang gila.” Aku mulai
menangisi mereka.<br />
<br />
“Ya, sesungguhnya ada beberapadari
mereka yang tersentuh hari nuraninya dengan hal-hal baik yang telah kamu
lakukan, mereka hanya malu, gengsi, bahkan takut untuk menyuarakan
dukungan untukmu.Tetapi jauh didasar hati nurani mereka, sesungguhnya
mereka tidak bahagia,tidak nyaman dengan segala keonaran dan kekerasan
yang terjadi. Hati mereka setuju dengan apa yang kau lakukan tapi mulut
mereka takut oleh keadaan untuk mengakuinya. Oleh karena itu. Aku belum
menyuruhmu pulang! Tugasmu belum selesai.”<br />
<br />
“Ini akan menjadi tugas yang berat dan lama. Padahal aku sudah merindukan rumah dan keluargaku.”<br />
<br />
“Memang
tidak mudah, dan pasti berat. Tapi bukankah matamu adalah mataKu dan
hatimu adalah hatiKu? Ituartinya, kamu tidak bekerja sendiri, Aku
bersamamu. TugasMu adalah teruslah lakukan tugas-tugas kebajikan yang
kuperintahkan dan beritakan tentang Aku yang mengasihi mereka dan
menginginkan mereka tidak binasa.”<br />
“Ya, karena mataMu di dalam
mataku, aku bisa memandang mereka dengan lebih baik. Memandang mereka
dengan penuh rasa kasih. Ya, Baiklah! Akan kuselesaikan pekerjaan ini
hingga selesai. Sama seperti Engkau aku tidak ingin mereka binasa.”<br />
<br />
“Ya,
ini tugas agung. Kau adalah dutaKu dan tugas-tugas yang kuberikan
bukanlah sesuatu yang sia-sia namun harusdiperjuangkan! Jangan takut
karena Aku bersamamu! Setialah dengan tugas-tugasmu!”<br />
“Ya, kini
baru kupahami, betapaEngkau pribadi yang penuh dengan belas kasihan.
Tadinya kukira Engkau ini memberikan pekerjaan yang sia-sia kepadaku.
Tapi, rupanya semua ini Kau lakukan karena Kau sangat mengasihi mereka.
Padahal banyak dari mereka yang tidakmengenalMu.”<br />
<br />
“Memang,
banyak yang belummengenalKu! Untuk itulah kamu harus mengenalkanKu pada
mereka melaluitugas-tugas yang Kuberikan kepadamu.”<br />
<br />
“Tapi, mengapa beberapa yang telah mengenalMu tetap ikut mentertawakan dan menganggapku bodoh?”<br />
“Karena
mereka hanya mendengar tentangKu tapi sesungguhnya mereka belum
mengenalKu. Namun, ada juga dariantara mereka yang telah mendengarKu dan
mengenalKu. Ada pula yang diam-diam melakukan tugas-tugas kebajikan
seperti yang kau lakukan, dan ada juga yang dengan berani
terang-terangan melakukannya. Tidakkah ini menghiburmu?”<br />
<br />
“Ya, baiklah. Aku berangkat sekarang dan aku tidak akan protes lagi.”<br />
“Pergilah! Selesaikan tugasmu. Aku menyertaimu.”<br />
<br />
Akhirnya
aku berpamitan dan bersimpuh pada Rajaku. Raja yang penuh dengan
kelembutan yang menginginkansukacita dan damai di Negara kami dapat juga
tercipta di negara tempatku ditugaskan. Mata yang baru, hati yang baru
ini memberi kekuatan dan fokus dalam menjalankan tugasku. <br />
<br />
Aku
kembali menuruni bukit menuju kehidupan di bawah bukit dengan pemahaman
yang baru dan pengertian yang baru. Dengan tekad yang kuat akan
kuselesaikan tugasku hingga Raja menyuruhku pulang kelak, entah kapan.
Ya, aku akan sangat merindukan Rajaku yang bijaksana dan kehidupan di
Negaraku. Tapi itulah yang memotivasiku untuk tetap berdiritegak meski
rasanya seperti hendak memasuki medan peperangan.<br />
<br />
Ketika
aku mulai memasuki jalan bebatuan menuju jalan-jalan perkampungan dan
perkotaan, semakin tajam aku mendengar ratap tangis, pemandangan yang
mengenaskan dan aroma yang tidak sedapdi tengah seringai mereka. Sambil
meneruskan perjalananku aku berdoa “kasihanilah mereka”.<br />
<br />Ditulis Oleh <a href="https://www.facebook.com/notes/cerpuni-cerpen-dan-puisi-rohani/cerpen-duta/443576979050261#" role="button"> </a><a href="https://www.facebook.com/notes/cerpuni-cerpen-dan-puisi-rohani/cerpen-duta/443576979050261#" role="button"></a><a href="https://www.facebook.com/notes/cerpuni-cerpen-dan-puisi-rohani/cerpen-duta/443576979050261#" role="button">Rellin A. Isdianto</a><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di cerpuni@gmail.com</em><br />
<br />
<em>GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-54582775273960525082013-03-26T12:27:00.000+07:002013-07-24T21:06:12.277+07:00Surat Untuk Bapa<div class="notesBlogText clearfix">
<span class="photo "></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0KDYYx_mJPJTDmfenOqnx8afyXF4xkSFKih_7TcDVIsiNIx0siAAiF45d1idrHENu-AuFEHNBwpD4ETQQEvSzq4SkuNR_06usxyDcAjq9x07rJLwWQQ3WFV-3Od2ouUY5ToCOK3DFUV6-/s1600/2759_542591082452344_798037887_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi0KDYYx_mJPJTDmfenOqnx8afyXF4xkSFKih_7TcDVIsiNIx0siAAiF45d1idrHENu-AuFEHNBwpD4ETQQEvSzq4SkuNR_06usxyDcAjq9x07rJLwWQQ3WFV-3Od2ouUY5ToCOK3DFUV6-/s320/2759_542591082452344_798037887_n.jpg" width="320" /></a></div>
Bapa,<br />
Engkau yang menciptakan manusia lengkap dengan segala keunikannya<br />
Tidak ada kata ‘produk gagal’ bagiMu<br />
<br />
Namun,<br />
Seringkali aku terbentur dan tersakiti<br />
<br />
Bapa,<br />
Mampukanku untuk meneropong ke dalam diriku terlebih dulu.<br />
Memperbaiki yang rusak di dalamku<br />
Menyadari bahwa setiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihan<br />
Termasuk aku,<br />
<br />
Seringkali ya Bapa, jiwaku tercabik oleh segelintir huruf yang dilontarkan.<br />
Terpuruk dalam rasa bersalah dan rendah diri<br />
<br />
Secara manusiawi, pastilah hatiku perih berdarah.<br />
Secara manusiawi, pastilah aku ingin membalas dengan kalimat yang lebih menyakitkan.<br />
Secara manusiawi, aku ingin menghilangkannya dari peredaran orbit bumi ini.<br />
Secara manusiawi, aku akan marah, benci dan dendam.<br />
Secara manusiawi, aku akan menghapus namanya dari hidupku.<br />
<br />
Tapi, aku tidak mau seperti itu.<br />
Aku tidak mau memberi hiburan pada singa yang mengaum.<br />
Aku berusaha memahami setiap karakter yang Kau ciptakan<br />
Berusaha melihatnya tidak hanya dari sudut pandangku saja<br />
<br />
Bapa,<br />
Jujur, sulit sekali menyusun puing-puing hati yang hancur dan merangkainya menjadi sebuah<br />
pengampunan yang indah.<br />
<br />
Bapa, peluklah jiwaku menuju ketenanganMu.<br />
Rajutlah air mata ini, menjadi untaian kedamaian di dalam-Mu.<br />
<br />
Bapa, terimalah kerapuhan ini<br />
Mampukanku mengampuni walau sulit<br />
Hanya dengan ramuan kasihMu maka ada kekuatan baru.<br />
<br />
Bapa, jangan pernah biarkan aku merasa sendiri mendaki perjalanan terjal ini.<br />
Lihatlah aku ya Bapa, jiwa yang remuk, hati yang terkoyak, tak mampu lagi melihat arah jalan<br />
Kumohon, bantu aku untuk bangkit, berdiri tegap, berjalan setapak demi setapak menyelesaikan<br />
perjalanan ini.<br />
<br />
Merdekakanlah aku dari rasa sakit dan amarah ini,<br />
Bebaskanlah aku dari kebencian dan dendam<br />
<br />
Sekali lagi Bapa, mampukanku untuk mengampuni.<br />
Mampukanku untuk melihat melalui mataMu.<br />
Cengkeramlah aku dalam kasihMu ya Bapa,<br />
KasihMu yang telah membebaskan dan mengampuniku<br />
Agar aku mampu mengasihi diriku sendiri dan sesama<br />
<br />
Kudatang padaMu ya Bapa dengan penuh kerendahan.<br />
Kuhentikan kemanusiawianku karena hanya melalui Engkaulah aku dimampukan mengasihi,<br />
mengampuni dan melupakan kesalahan.<br />
Agar mereka yang tidak tahu, menjadi tahu tentang kasihMu dan merasakan pula<br />
pengampunanMu<br />
<br />
Ditulis Oleh <a href="https://www.facebook.com/notes/cerpuni-cerpen-dan-puisi-rohani/puisi-surat-untuk-bapa/440670109340948#" role="button">Rellin A. Isdianto</a><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di cerpuni@gmail.com</em><br />
<br />
<em>GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-3666634636450629562012-07-29T16:05:00.000+07:002013-07-25T04:46:06.488+07:00Dia Mendengar<div class="notesBlogText clearfix">
<span class="photo "></span><br />
<div class="caption">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdPjQx_WsZWlLnkIg_64ElmZd5GD8GmshzFzHCcARNAYv0-n5Dh3p7hrB8xhOsvN2Dv-e5QCuclUyjZBTPW4bAUvWll_eOVcalQv2KPRWm9BMVfafAur4Dg1qbBZitn9pznCTk1wpdjtF9/s1600/484061_437163636328423_134066032_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="211" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhdPjQx_WsZWlLnkIg_64ElmZd5GD8GmshzFzHCcARNAYv0-n5Dh3p7hrB8xhOsvN2Dv-e5QCuclUyjZBTPW4bAUvWll_eOVcalQv2KPRWm9BMVfafAur4Dg1qbBZitn9pznCTk1wpdjtF9/s320/484061_437163636328423_134066032_n.jpg" width="320" /></a></div>
Peter Brutsch</div>
<br />
<br />
“ Nell! Hp-mu bunyi tuh! Kayaknya ada sms.”<br />
“ Ya… tunggu, aku lagi di kamar mandi.”<br />
“ Kamu ngapain sih? Ko’ lama sekali. Kayaknya bukan sms, karena Hp-mu tadi bunyi lagi.” Teriak Debby<br />
“
Iya.. iya!” Aku langsung menuju kamarku dan melihat nomor yang tertera
di layar Hp-ku. “ Kamu bener Deb, bukan sms tapi telepon.”<br />
“
Baguslah. Hmm, biar kutebak pasti dari Rere.” Tanya Debby dengan
menatapku. Aku menganguk-angguk dan memberi isyarat pada Debby agar
segera keluar dari kamarku. “ Iiih… kalau menyangkut Rere pasti aku
tersisih deh.” Rajuk Debby.<br />
“ Deb…. Please!”<br />
“ Iya..iya deh.” Debby bangkit menuju pintu sambil melemparkan bantal ke arahku.<br />
“ Deb!” Teriakku. Debby keluar dengan mentertawakanku.<br />
Setelah
Debby pergi aku langsung telepon Rere. Terdengar nada sambung. Satu
kali, dua kali. Tidak ada jawaban. Pada nada yang ketiga barulah
terdengar suara di ujung sana.<br />
“ Halo.”<br />
“ Halo, Re. Kamu tadi telepon aku ya, ada apa?” Tanyaku dengan riang.<br />
“ Hmm, iya aku…aku cuma mau ngobrol sama kamu.”<br />
Kecewa dengan nada Rere yang datar aku bertanya dengan nada biasa<br />
“ Ooh, ngobrol apa?”<br />
“ Hhm…kamu baik-baik saja kan, Nell?”<br />
“ Baik. Kamu?” Sepertinya Rere sedang berbasa-basi<br />
“ Aku baik.”<br />
“ Re, ada apa sih? Langsung saja deh tidak usah muter-muter.” Tanyaku tidak sabar<br />
“ Nell, aku… aku….” Rere menghela nafas “ Nell, aku… maksudku kita. Kita harus putus.”<br />
Aku terdiam. Berusaha untuk tidak kehilangan akal sehatku.<br />
“ Kenapa Re?”<br />
“ Aku bertemu dengan wanita lain.”<br />
Aku
menghela nafas “Re, ini kan bukan yang pertama kalinya kamu
mengkhianati aku. Kamu sering bertemu wanita lain selama 5 tahun
berpacaran denganku. Selama itu pun aku selalu menerima kamu kembali.
Aku hanya menganggap kamu sedang ingin bermain-main di luar sana dan
kamu akan pulang setelah kamu capek bermain. Please Re, ini tidak benar
kan? Kamu tidak akan meninggalkan aku demi wanita itu kan?”<br />
Tangisku mulai pecah dan aku menyesalinya.<br />
“ Nell, aku harus memilih dia.”<br />
“ Tapi kenapa Re? Aku kurang apa selama ini?” aku nyaris berteriak dan mulai putus asa<br />
“ Karena dia hamil Nell, aku menghamilinya.”<br />
<br />
***<br />
<br />
“ Nelly! Kamu baru datang? latihan sudah dimulai dari tadi loh.”<br />
“ Iya. Sorry ya Deb. Aku tadi ada urusan sedikit.” Jawabku di antara nafas yang tak teratur.<br />
“ Ya sudah, ganti baju sana! Terus langsung gabung sama yang lain.”<br />
Jawabanku hanya berupa anggukan saja. Aku tidak berani menatap mata Debby. Koordinato<em>r ministry dance</em> sekaligus sahabatku yang satu ini selalu tahu kalau aku berbohong atau ada yang kusembunyikan.<br />
Selama latihan dengan teman-teman <em>ministry dance</em> aku tidak fokus. Ada sesuatu yang mengganggu konsentrasiku. Sialnya Fer sang koreografer menangkap kekacauanku.<br />
“ Oke. Teman-teman <em>break</em> dulu 5 menit.” Teriak Fer memberi komando<br />
Saat
itulah kudapati Fer menuju ke arahku. “ Nell, kamu kelihatan kacau
sekali hari ini. Kamu baik-baik saja?” Ada nada cemas dalam
pertanyaannya.<br />
Dengan tersenyum penuh keyakinan aku menjawab “ Aku
oke ko’ Fer. Tenang saja. Aku tadi hanya agak lupa dengan beberapa
gerakan. Itu saja.”<br />
“ Oke, kalau begitu kamu harus latihan lebih keras lagi. Ingat Nell, kita latihan <em>dance</em> untuk melayani Tuhan di acara Paskah dua minggu lagi. Kamu mengerti kan maksudku?”<br />
“ Iya.” Jawabku. Fer masih menatapku tajam seolah tidak puas dengan jawabanku<br />
“Aku
mengerti Fer, sangat mengerti.” Aku nyaris berteriak bahkan mungkin
menangis kalau Fer tidak segera pergi dari hadapanku. Dan saat dia
melenggang begitu saja menuju teman-teman lainnya. Barulah aku bisa
bernafas lega.<br />
“ Oke, <em>Position Please</em>!” Ku dengar Fer memberi aba-aba.<br />
Aku
dan teman-teman lain segera mengambil posisi masing-masing. Sesekali
aku menangkap tatapan penuh tanya dari Debby. Dan ketika musik diputar
aku mulai hanyut menyatu dengan irama, melebur dengan liriknya yang
menggambarkan pengorbanan Sang Maha Cinta. Tanpa sadar aku menangis.<br />
<br />
***<br />
<br />
Hari sudah sore saat aku tiba di kosku. Rasa lelah setelah latihan <em>dance</em>
tidak lagi terasa, aku hanya ingin lekas masuk ke kamar dan mengurung
diri. Tidak kuacuhkan sapaan ibu kos, begitu juga dengan teman-teman kos
yang lain dan aku langsung masuk kamar tanpa menoleh lagi.<br />
<br />
Di
sudut kamarku aku mulai menumpahkan tangisku. Pintu dan jendela sengaja
kukunci dan lampu kumatikan. Aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun.<br />
<br />
Ya Tuhan. Bagaimana aku bisa melayanimu di hari paskah nanti? Bagaimana aku bisa menari untuk Engkau? Bagaimana bisa <em>audience</em>
melihat Engkau dalam diriku? Bagaimana mungkin aku menjadi berkat untuk
mereka? Kalau keadaanku saja seperti ini. Aku sakit Tuhan…aku
terpuruk…aku merasa seperti terperosok di sebuah lubang yang sangat
dalam di mana tidak ada satu orang pun yang dapat menarikku keluar. Di
sekitarku hanya ada kegelapan, dingin dan sendiri. Oh Tuhan aku tidak
sanggup lagi. Ampunilah aku dan bantulah aku, sembuhkan lukaku ini
Tuhan. Tuhan…jangan diam! Dengarkanlah aku!<br />
<br />
Tangisku pecah, dadaku terasa sesak dan tubuhku lemas. Aku benar-benar tak berdaya. Namun menurutku Tuhan masih diam.<br />
<br />
“Nell,
kamu di dalam kan? Buka pintunya Nell!” Itu suara Debby yang
mengetuk-ngetuk pintu kamarku. Aku diam, aku hanya ingin sendiri
meresapi rasa sakit ini hingga membuat tulang-tulangku terasa ngilu.<br />
<br />
“Nell…ayolah! Buka pintunya! Aku tahu kamu ada di dalam. Nell, <em>please</em>!”<br />
Aku tetap bergeming.<br />
“ Nell, aku akan tunggu sampai kamu membuka pintu, bila perlu aku tidur di depan pintu kamarmu!”<br />
<br />
Debby
paling hanya menggertakku, aku yakin dia akan bosan dan akan menyerah
pulang. Tapi aku mendengar gagang pintu diputar dari luar terus-menerus,
rupanya Debby belum menyerah juga. Lama-lama aku tidak tega membiarkan
Debby menunggu di luar. Kuputar gagang pintu dan kubuka, aku mendapati
Debby berdiri termangu memandangiku. Sebelum dia berteriak histeris
karena melihat tampangku yang acak-acakan segera kutarik dia masuk ke
dalam.<br />
<br />
“Ya ampun Nell, kamu kacau sekali. Ada apa sih?
Cerita dong sama aku, jangan di pendam sendiri.” Debby menenangkan dan
memelukku. Tapi bukannya tenang tangisku malah pecah. Sesaat Debby hanya
menepuk-nepuk pundakku.<br />
“ Nell… Rere ya? Dia menyakiti kamu lagi?”<br />
<br />
Aku tertunduk di hadapan Debby, bibirku masih terasa berat untuk bercerita.<br />
“Nell,
sampai kapan kamu akan diam dan terpuruk sendiri seperti ini? Sementara
Rere, mungkin saat ini dia tidak memikirkanmu sama sekali. Air matamu
terlalu berharga hanya untuk menangisi lelaki seperti dia.”<br />
“Deb, mulai besok aku tidak akan ikut latihan. Aku akan mengundurkan diri dari tim yang melayani di hari paskah nanti.”<br />
“Kenapa Nell?”<br />
Kupandang Debby dengan penuh keyakinan “ Deb, itu sudah keputusanku!”<br />
“Tapi kenapa Nell? hanya karena Rere?”<br />
“Itu bukan karena Rere, tapi aku.”<br />
“Oke! Aku akan mendukung keputusan kamu itu. Tapi, berikan aku alasan yang tepat.”<br />
“Deb, kita tahu <em>dance</em>
itu untuk siapa? Untuk Tuhan kan? Dan sekarang kamu lihat bagaimana
keadaanku. Aku tidak layak melayani di hari paskah nanti. Tuhan sendiri
bilang dalam firmanNya sebelum kita melayani Dia kita harus membereskan
dulu hal-hal yang belum beres dalam diri kita. Kita menari agar <em>audience</em>
yang melihat merasa diberkati dan mereka dapat melihat Kristus dalam
tarian kita sehingga ada sukacita dalam hidup mereka. Sekarang bagaimana
bisa aku menjadi berkat bagi mereka dengan keadaanku yang seperti ini?”<br />
“Benar apa yang kamu katakan. Pertama yang harus kamu lakukan adalah bereskan dulu hal-hal yang belum beres dalam diri kamu!”<br />
“Tidak semudah itu Deb.”<br />
“Nell,
serahkanlah segalanya pada Tuhan. Dia selalu ada buat kamu, Dia yang
akan menyeka air matamu dan menyembuhkan lukamu. Tuhan sangat mengerti
apa yang terbaik buat hidupmu. Ada sesuatu yang indah di balik semua
ini.”<br />
“Deb, bagiku saat ini tidak ada yang dapat mengerti
bagaimana sakitnya aku. Tidak kamu, tidak teman-teman, tidak juga Tuhan.
Tuhan hanya diam”<br />
“Kamu salah Nell. Oke, mungkin benar aku tidak
mengerti begitu juga teman-teman. Tapi ada satu pribadi yang sangat
mengerti bagaimana rasa sakitmu itu. Bagaimana hancurnya ketika
dikhianati. Dia mengerti Nell, sangat mengerti.”<br />
Aku menggelengkan
kepala. Sebelum aku menyangkal, Debby buru-buru menambahkan “Nelly!
Jangan keraskan hatimu. Tanpa kamu sadari Tuhan sedang mengetuk hatimu.
Dia ingin masuk ke dalam jiwamu, membangun kembali hatimu yang hancur.
Coba renungkan! Kenapa semua ini terjadi pada saat menjelang hari
paskah? Renungkan Nell! Ya, karena Tuhan ingin mengingatkan kita semua.
Tuhan pernah sakit, Tuhan pernah dikhianati hingga Dia harus mati di
kayu salib. Jika Dia mau, Dia mampu menghindari semua itu karena Dia
adalah Tuhan. Tetapi sedikit pun Dia tidak lari karena semua itu sudah
kehendak Bapa dan di balik semua itu ada rencana yang indah. Bayangkan
jika waktu itu Dia tidak dikhianati, Dia tidak akan mati di kayu salib
dan kita manusia masih terbelenggu dosa.”<br />
<br />
Nelly terdiam,
direnungkannya apa yang telah terjadi, dalam hatinya dia berkata, ya aku
merasakan sakitnya dikhianati, sakitnya di tinggal. Tapi apa maksud
semuanya ini, Tuhan? Aku merasa sendiri, namun benar kata Debby, aku
tidaklah sendiri, sesungguhnya Engkau ya Yesus turut merasakan sakit
hatiku. Apakah Engkau sedang memprosesku untuk memahami kesakitan dan
pengorbananMu di kayu salib? Apakah ada bagian dalam diriku yang hendak
Engkau kikis dan hancurkan di atas salibMu, agar aku semakin berkenan
bagiMu? Apakah melalui peristiwa ini Engkau hendak menyatakan hanya
Engkaulah pribadi yang setia?. Dalam tangisnya Nelly seakan mendengar
Yesus berkata kepadanya “Sakitmu dikhianati dan ditinggalkan sudah
terlebih dulu kurasakan di kayu salib. Ya, salib itu, pengorbananku itu
adalah bagianKu untuk menyelamatkan semua manusia, karena Aku mengasihi
semua manusia, termasuk kamu Nelly. Bagianmu adalah kamu harus pulih,
bersedia diproses sehingga dapat melepaskan pengampunan. Aku mengasihimu
Nelly.”<br />
<br />
Ya Tuhan, benar apa yang dikatakan Debby tadi.
Engkau sangat mengerti dan peduli. Maafkan aku Tuhan, aku telah
meragukan kasihMu. Ampunilah aku dan masuklah dalam hatiku, penuhilah
dengan kasih setiaMu. Jadilah kehendakMu Tuhan bukan kehendakku dan
mampukanlah aku taat dan setia dalam segala pembentukanMu atas hidupku.<br />
***<br />
“Nell,
terima kasih ya. Tarian tim-mu tadi sangat luar biasa memberkati aku
dan juga teman-teman yang lain.” Fer menyalamiku setelah perayaan paskah
selesai.<br />
“Sama-sama Fer. Itu semua karena kasih karunia Tuhan dan
tentunya karena kamu juga. Terimakasih ya, kamu sudah mau melatih aku
dan teman-teman dengan penuh kesabaran.”<br />
Aku dan Fer tersenyum. Malam ini sukacita memenuhi hati kami apalagi melihat para <em>audience</em>
yang sudah mulai pulang dengan senyum di wajah mereka. Ya, aku sangat
mengucap syukur atas apa yang telah kualami, yang membuat aku semakin
mengerti arti pengorbananNya..<br />
<br />
“Fer, aku pinjam Nelly sebentar ya.” Debby tiba-tiba menarik tanganku.<br />
“Deb, ada apa sih? Pelan-pelan dong jalannya.”<br />
“Ayo cepat Nell, ada yang mau kenalan dengan kamu.”<br />
Debby berbicara dengan antusias sementara aku hanya heran dan penasaran.<br />
“Ya,
inilah dia. Nell, ini orang yang ingin kenalan sama kamu. Oke, aku
tinggal ya! Chris, nanti kamu yang mengantar Nelly pulang ya!” Debby
pergi dengan tersenyum jahil. Dalam hatiku ‘awas kamu Debby!’.<br />
“Iya tenang aja Deb..Hai Nell, aku Chris” kujabat tangan Chris yang terulur dengan senyum termanisku.<br />
<br />
<strong>Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fisibenaku.blogspot.com%2F&h=-AQHDMZcA&s=1" rel="nofollow" target="_blank">Rellin Ayudya</a></strong><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di
cerpuni@gmail.com </em><br />
<br />
<em> GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-69416081480056092102012-07-08T18:33:00.000+07:002013-07-24T20:59:24.110+07:00Di Sebuah Kebun Jagung Kau Menemukanku<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsx_5ewcNOjFt4tr6nW46h29eV5zoQvpI3Z_1kTwmOma9iF5CrB3JanW1BU3QUvgzX7TSnk8gbYhQ1AUG8k2-7kjCeUjw9TIpt5nQnl57Q3ZG7t-mLwP9_DHB362qFfVAnAE8hz3ClR4se/s1600/532611_429300583781395_1291593834_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="214" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsx_5ewcNOjFt4tr6nW46h29eV5zoQvpI3Z_1kTwmOma9iF5CrB3JanW1BU3QUvgzX7TSnk8gbYhQ1AUG8k2-7kjCeUjw9TIpt5nQnl57Q3ZG7t-mLwP9_DHB362qFfVAnAE8hz3ClR4se/s320/532611_429300583781395_1291593834_n.jpg" width="320" /></a></div>
<span class="photo "></span><br />
Kebun
jagung ini berjarak 200 meter dari rumah Kakekku, luasnya ternyata
tidak lebih dari 2 hektar. Pagi yang dingin ini tak menghalangiku untuk
mengunjunginya meski bukan masa panen, karena masih dibutuhkan waktu dua
bulan lagi bagi tongkol-tongkol jagung yang terselip itu siap untuk
dipetik. Dua hari ini hatiku serasa membeku, peristiwa yang baru saja
terjadi membuatku sedih sampai tak mampu lagi menangis. Di kebun jagung
ini pernah terjadi dua hal sekaligus yang mengubah hidupku sebagai
seorang Dias.<br />
<br />
Sejenak aku teringat saat usiaku masih 5
tahun, dahulu kebun ini serasa sebuah hutan lebat yang ditumbuhi tanaman
jagung dewasa dengan rapat sampai-sampai aku menangis karena tidak
dapat menemukan jalan keluar dari dalamnya. Masih melekat dalam
ingatanku bagaimana takutnya aku saat itu, dalam benakku aku merasa
sudah tamat hidupku. aku membayangkan bahwa aku tersesat ke sebuah dunia
yang lain yang berbeda dengan yang selama ini aku kenal. Tidak ada
Papa, Mama, Kakek, Nenek, dan kue apel yang dibuat Nenekku. Aku tersesat
dan tidak bisa pulang. Ketakutanku bertambah saat kudengar suara burung
gagak yang sesekali seolah terbang melintas di atas kepalaku. Dan dalam
keadaan seperti itu, Dias kecil hanya bisa menangis. Entah berapa lama
aku menangis di sela ketakutanku, rasa-rasanya sampai parau suaraku
bahkan air mataku juga sudah tidak bisa keluar lagi. Peristiwa itu
adalah peristiwa paling menakutkan seumur hidupku.<br />
<br />
Di tengah kebingunganku aku berusaha menemukan jalanku pulang, di
tengah ketakutanku dan sisa kekuatanku kusibak batang-batang jagung yang
mengelilingiku namun tak kutemukan, aku malah semakin tersesat. Aku
hilang arah, dengan tinggi badan kurang lebih 83 cm saat itu aku tidak
dapat melihat apapun kecuali batang-batang pohon jagung di sekelilingku.<br />
<br />
Tiba-tiba aku mendengar ada suara yang memanggilku<br />
“Diaaaasssss….”<br />
“Diaaaasssss….”<br />
“Kakek datang untuk menemukanmuuuuuu…”<br />
“Diaaaassss… jangan bergerak lagi naaakkk..”<br />
“sekarang diamlah di tempatmuuuuu… kakek akan menemukanmuuuu….”<br />
“Diaaaaasssss…. Dengar suara Kakek naaaakkkk?????”<br />
Sontak aku berseru dengan sisa-sisa kekuatanku untuk menjawab suara itu semampuku<br />
“Kakeeeekkkk….”<br />
“Kakeeeekkkk….”<br />
“Dias disiniiiiii… Dias menunggu Kakeeeekkkkk…”<br />
“Kakeeekkkk….. Kakek dengar suara Diasss????..”<br />
“Huhuhuhu…..”<br />
<br />
Air
mataku kembali mengalir deras saat aku menyadari bahwa seruan
terakhirku hanya sampai di kerongkongan karena aku telah kehabisan
suara. Aku hanya bisa terduduk dan menangis sambil melihat ke langit
seraya memohon kepada Tuhan supaya Dia membawa Kakek kepadaku. Saat
itulah untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar mengalami kesulitan
besar dan merasa hanya Dia yang sanggup menolongku. Seketika aku
berhenti menangis, mencoba berseru lagi dengan suara yang seadanya<br />
“Kakeeeeekkkk…”<br />
“Jangan takut Dias, kakekmu pasti dapat menemukanmu..”<br />
<br />
Sejenak
setelah suara itu terdengar di telingaku, tiba-tiba aku melihat kakekku
telah menyibak batang-batang jagung di depanku dan berdiri di
hadapanku. Saat aku menatapnya, dia langsung berhambur ke arahku dan
memelukku seraya berkata<br />
“Ya Tuhan terimakasih…”<br />
“O… Haleluya..”<br />
<br />
Dalam
pelukkan kakek aku menangis lagi, dan tiba-tiba suaraku yang hilang
muncul kembali bahkan lebih kencang lagi. Tapi aku merasakan tangisanku
ini berbeda, tangis ini adalah tangisan haru, gembira, dan lega karena
aku telah ditemukan. Dalam hati baru aku menyadari bahwa apa yang aku
sampaikan pada Tuhan untuk pertama kalinya dijawab-Nya dengan segera.
Sambil memeluk erat kakekku aku berseru dalam hati menyatakan
persetujuanku dengan seruan kakek, “Terimakasih Tuhan…”<br />
<br />
Sudah 10 tahun peristiwa itu berlalu sejak Papa dan Mama mengajakku
pindah ke kota karena tuntutan pekerjaan Papa, namun peristiwa itu tidak
pernah hilang dari ingatanku. Aku menutup mata dan merasakan aliran
hangat dari mataku. Getar yang ada dalam hatiku saat ini juga sama
dengan apa yang aku rasakan 10 tahun yang lalu di tempat ini. Dalam
pelukan kakekku, aku diperkenalkan pada seorang Pribadi yang membawa
kakek menemukan aku. Ya, Yesus namanya, demikian kakek memanggilnya.
Semakin deras aliran hangat itu keluar dari mataku namun aku tersenyum
bahagia, karena peristiwa itu telah membawaku mengenal Yesus yang selalu
dapat menemukanku dan menolongku.<br />
<br />
Kebun jagung
yang dahulu pernah menjadi tempat yang sangat menakutkan bagiku,
seketika itu juga menjadi tempat terindah bagiku untuk mendapatkan
kekuatan dalam masa-masa sulitku. Seperti saat ini, ketika aku berduka
karena seseorang yang dekat di hatiku tak lagi ada di sampingku. Kakek
Yusak, demikian orang mengenalnya. Kemarin Tuhan telah menutup usianya
pada bilangan 80 tahun dalam damai sejahtera tanpa keadaan apapun yang
menyakitinya. Kakek meninggal tepat sehari setelah aku pulang kembali ke
rumah ini, saat kami sedang menyanyikan kidung pujian bersama seperti
yang dahulu pernah kami lakukan. Aku sudah merasakan hal itu sejak
seminggu sebelum aku pulang ke rumah ini, entahlah seperti suara Tuhan
yang memberitahuku,<br />
<br />
“Pulanglah segera, ada hal penting yang akan terjadi.”<br />
<br />
Dan
inilah hal penting itu, perginya seorang Kakek Yusak yang penuh kasih
dan bijaksana ke Rumah Tuhan. Dalam keheningan dan kesejukan pagi ini
aku bergumam,<br />
<br />
“Hhhh…. Kakek, Dias percaya kau aman di sana
sekarang. Seperti Dia yang telah menolongmu menemukanku kala itu, Dia
juga yang akan membawamu masuk dalam kekekalan yang damai bersama-Nya.
Terimakasih Kakek karena kau memperkenalkanku pada-Nya yang sekarang
sedang bersamamu. Sampai bertemu lagi Kakekku tercinta, di suatu masa
nanti. Oohhh…. Terimakasih Yesus.”<br />
<br />
Aku membuka mataku
perlahan-lahan, dan kudapati dunia menjadi lebih indah dengan hal yang
baru saja aku dapatkan. Aku jadi merasakan kelegaan dan kedamaian bukan
lagi duka seperti sebelumnya. Aku pun tersenyum…<br />
Entah berapa hal
lagi dan apa lagi yang akan aku alami setelah ini. Di kebun jagung ini
aku telah dimampukan untuk melihat jalan-jalan di hadapanku dengan
senyum. Tidak lagi seperti Dias berusia 5 tahun yang kebingungan mencari
jalan keluar sambil menangis seakan tidak ada jalan keluar. Sekarang
aku dapat merasakan kekuatan dan tuntunan tangan dari Seseorang yang
diperkenalkan kakek kepadaku secara nyata. Dialah Yesus, Sang Jalan,
Kebenaran, dan Hidup. Bersama-Nya telah kutemukan jalanku ^^,<br />
<br />
<br />
<em>Untuk Nenekku yang terkasih</em><br />
<em>Aku mencintaimu, ini karya pertamaku ^^,</em><br />
<em>Terimakasih Tuhan untuk waktu yang pernah kami miliki bersama</em><br />
<em>Aku selalu rindu waktu yang akan kami miliki bersama lagi dengan Engkau ‘nanti’</em><br />
<em>Solo, 22-23 Juni 2012</em><br />
<em>01.28</em><br />
<br />
<em><strong>Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/sango.chan.188">Sango Chan</a></strong></em><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di
cerpuni@gmail.com </em><br />
<br />
<em> GBU :)</em>Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-60251520058418530422012-04-28T20:15:00.000+07:002013-07-25T04:16:24.368+07:00Berani Beda<div class="notesBlogText clearfix">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8xn-SbWserFpDFtvrR1LM-F73cO9ehd8RpJB3bM_aMDyN3FaMs2II52XQWtfCqFOI0Z7wb9W5J0G33uFU0QyKLgJIevxTa3FEwu3UeQbUZuLwMccdIQ8f0ziTZ0T1AUlI-dJEAHndhFOP/s1600/526144_386864534691667_1494948259_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi8xn-SbWserFpDFtvrR1LM-F73cO9ehd8RpJB3bM_aMDyN3FaMs2II52XQWtfCqFOI0Z7wb9W5J0G33uFU0QyKLgJIevxTa3FEwu3UeQbUZuLwMccdIQ8f0ziTZ0T1AUlI-dJEAHndhFOP/s1600/526144_386864534691667_1494948259_n.jpg" /></a></div>
Hari
hampir pagi tapi mata Dwi belum juga terpejam. Terdengar suara
kendaraan yang sesekali melintas di kejauhan dan nyanyian burung hantu
di sebuah pohon dekat apartemennya. Dwi terbaring dengan gelisah,
semakin dipejamkan matanya semakin dia terjaga. Tubuhnya menggigil
kedinginan yang tanpa disadarinya rasa dingin itu bukanlah karena
pikiran-pikirannya melainkan dari jendela yang lupa ditutup. Tak tahan
Dwi bangkit dari tempat tidur dan keluar menuju dapur. Diambilnya gelas,
dituangkannya susu dan air panas. Aroma susu coklat menusuk hidungnya.
Dwi percaya susu coklat dapat membuatnya rileks.<br />
“Wi, sedang apa kamu?”<br />
<br />
“Hhmm? Oh, biasa aku bikin susu. Kamu belum tidur Lin?”<br />
“Aku tadi sudah tidur tapi terbangun oleh suara berisik dari dapur.”<br />
Dwi
tersenyum melihat Linda yang masih mengantuk. Dwi duduk di sofa
sementara Linda membaringkan dirinya di sofa panjang. Dwi menghidupkan
TV di depannya namun tidak ada acara yang menarik bahkan beberapa
stasiun sudah berhenti menayangkan acara.<br />
<br />
“Ya ampun Wi. Ini sudah jam dua pagi. Memangnya masih ada acara di TV?”<br />
“Aku juga tahu ini sudah jam dua. Aku cuma iseng ko’. Kalau mau tidur lagi di kamar sana Lin.”<br />
“Nanti ah. Eh, Wi. Kamu kenapa sih sudah beberapa hari ini kayaknya tidak pernah tidur?”<br />
“Aku <em>insomnia</em>. Makanya aku bikin susu coklat ini biar bisa tidur.”<br />
“Memang ada efeknya? Aku lihat walaupun kamu sudah minum susu coklat itu tiap malamnya tetap saja tidak bisa tidur?”<br />
“Iya juga sih. Tapi paling tidak aku agak <em>rileks</em>.”<br />
“Kamu kelihatan gelisah Wi, pasti ada masalah ya?”<br />
“Sok tahu.”<br />
Linda
bangkit dan duduk di sofa menghadap Dwi. Diambilnya gelas yang berisi
susu dari tangan Dwi dan diletakkannya di atas meja “Ayo sekarang kamu
cerita ke aku!”<br />
“Cerita apa Lin?”<br />
<br />
“Wi, aku ini
sahabat kamu kan? Kita berteman sudah bertahun-tahun. Kita sama-sama
merantau di kota ini. Masa sekian lama kenal, kamu belum percaya juga
sama aku?”<br />
“Hehehe, kamu tuh lucu Lin. Ko’ kamu jadi sentimentil begitu?”<br />
“Hei Non…Kita tinggal di apartemen ini sudah tahunan. Jadi aku tahu kalau kamu<em> insomnia</em> kayak begini pasti kamu lagi ada masalah. Ayolah cerita dong!”<br />
“Cerita apa?”<br />
“Iiihh…jual mahal amat sih. Oke biar kutebak. Kamu pasti lagi ada masalah sama Aldi?”<br />
“Iih apaan sih. Aku sama Aldi itu baik-baik saja. Tidak ada masalah.”<br />
<br />
“Hhmm kalau begitu kamu pasti habis berantem dengan si Ida rekan kerjamu yang <em>rese</em> itu?”<br />
“Kamu salah. Sudah ah. aku mau tidur lagi.”<br />
Linda belum mau menyerah juga. Diikutinya Dwi masuk kamar.<br />
“Lin, kalau tidur di kamarmu sana.”<br />
<br />
“Aku belum mau tidur lagi ko’. Aku mau mendengarkan curahan hati kamu.”<br />
Linda
naik ke atas tempat tidur Dwi dan menunggu. Dwi menghela nafas melihat
kegigihan teman sekamarnya itu. Dia pun naik ke tempat tidur dan duduk
menghadap Linda.<br />
“Oke, aku akan ceritakan semuanya Tapi kamu harus menjaga kerahasiaannya.”<br />
“Oke.” Linda tersenyum<br />
<br />
“Aku sedang bingung. Tiga hari yang lalu aku bertemu klien. Kamu ingat Ibu Vina yang pernah kuceritakan dulu?”<br />
“Hhmm Ya. Yang mendaftarkan sepuluh merek sekaligus itu kan?”<br />
“Yup.
Nah, tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya. Ibu Vina mau
mendaftarkan Desain Industrinya. Ada sembilan desain yang mau
didaftarkan.”<br />
<br />
“Wah, bagus dong Wi. Itu berarti kamu dapat
bonus banyak sekali. Terus masalahnya apa? Hhmm, pasti si Ida itu tidak
senang dengan kesuksesan kamu itu. Dia sinis lagi sama kamu ya?”<br />
“Iihh bukan itu. Kalau masalahnya karena Ida sih tidak akan membuat aku <em>insomnia</em> kayak begini. Rugi.”<br />
“Lah terus apa dong masalahnya? Seharusnya kamu senang akhir bulan ini bisa gajian banyak.”<br />
<br />
“Yah,
aku bingung saja. Ibu Vina ingin mendaftarkan desain industrinya karena
dia tidak ingin didahului oleh Pak Anto yang memiliki <em>soft furniture</em>.
Ya, kalau masalahnya karena tidak ingin didahului, itu tidak masalah
Lin. Yang jadi masalah nanti kalau desain industrinya Ibu Vina sudah
didaftarkan dia mau menuntut Pak Anto untuk menghentikan produksi desain
yang sama.”<br />
<br />
“Setahuku, itu memang hak pendaftar kan? Hak apa, yang kamu bilang dulu?”<br />
“ <em>First to file</em>. Iya memang dia berhak tetapi sebenarnya Ibu Vinalah yang meniru desain Pak Anto.”<br />
“Ya sudah kalau begitu kamu datang saja ke Pak Anto dan suruh dia mendaftarkan semua desainnya terlebih dahulu.”<br />
“Masalahnya
Pak Anto itu murah hati sekali. Dia tidak keberatan kalau
desain-desainnya dia ditiru oleh orang lain. Padahal bisnis dia bisa
saja terancam.”<br />
<br />
“Hhmm, bingung juga sih. Pak Anto yang
menciptakan desain, tapi nanti dia yang dituntut Ibu Vina kalau sampai
Ibu Vina mendaftarkan desainnya terlebih dulu. ”<br />
<br />
“Selain
itu Ibu Vina sedang terlibat konflik dengan suaminya. Ibu Vina ingin
mendaftarkan desain-desain industri atas namanya sendiri tetapi suaminya
menginginkan pendaftaran atas namanya. Pak Wawan suaminya Ibu Vina
tidak rela jika nama istrinya yang dipakai untuk mendaftarkan desain
industri<em> </em>mereka, karena Pak Wawanlah direkturnya.”<br />
“Wah…pelik juga ya masalahnya. Terus kamu sudah konsultasi belum dengan teman-teman kantormu?”<br />
“Sudah.”<br />
“Saran mereka apa?”<br />
“Saran mereka sih biar Ibu Vina menyelesaikan dulu masalah dengan suaminya. Agar ada kesepakatan di antara mereka.”<br />
<br />
“Kalau masalah dengan Pak Anto, saran mereka apa?”<br />
“Aku
disuruh membujuk Ibu Vina untuk tidak menuntut Pak Anto. Apalagi Ibu
Vina sendiri mengakui bahwa desain industri yang akan dia daftarkan itu
tidak <em>original</em>.”<br />
<br />
“Ya sudah kamu lakukan saja sesuai dengan saran dari teman-temanmu itu Wi.”<br />
“Aku
juga inginnya begitu. Tapi kemarin masalah ini terdengar oleh atasanku,
Pak Wahyu. Dan saran yang diberikan Pak Wahyu itu berbeda dengan saran
dari teman-teman.”<br />
“Memangnya dia menyarankan apa?<br />
<br />
“Pak
Wahyu bilang kalau aku jangan sampai terlibat dengan konfliknya klien.
Jadi kalau Ibu Vina akan mendaftarkan desain-desain industrinya dan
setelah itu dia akan mensomasi Pak Anto, biarkan saja. Aku hanya
membantunya mendaftarkan, kalau masalah mensomasi aku lepas tangan itu
bukan urusanku lagi. Sedangkan untuk masalah Ibu Vina dan suaminya aku
disarankan untuk menghubungi Ibu Vina dan juga Pak Wawan, siapa yang
paling cepat membayar biaya pendaftaran, itu yang kita tangani. Tidak
masalah memakai nama Ibu Vina atau suaminya.”<br />
“Wah…Bos-mu <em>money oriented</em> sekali ya Wi.”<br />
<br />
“Yang
jadi pikiranku Lin. Semua yang disarankan oleh Pak Wahyu itu tidak
sesuai dengan hati nuraniku. Aku takut berdosa. Jika aku sekarang
membantu Ibu Vina bagaimana nasib Pak Anto nanti? Padahal siapa tahu
suatu saat Pak Anto mau mendaftarkan desain industrinya yang lain?
Bagiku klien itu bukan hanya untuk saat ini tapi juga investasi untuk
bulan-bulan yang akan datang. Sedangkan masalah Ibu Vina dan suaminya
jika aku membantu salah satunya bukankah aku sudah membantu memperuncing
masalah di antara mereka?”<br />
“Iya juga sih Wi.”<br />
<br />
“Pak Wahyu juga bilang aku tidak boleh emosional. Di dalam dunia bisnis ‘<em>emotional will kill you</em>’.
Apalagi Ibu Vina itu klien potensial. Sudah beberapa kali dia
mendaftarkan banyak merek, hak cipta dan juga desain industri. Semua ini
menguras tenaga dan pikiranku Lin. Makanya aku tidak pernah bisa tenang
beberapa hari ini. Dan pagi ini aku diminta mengambil keputusan. Apakah
aku akan mengikuti saran dari Bosku itu atau urusan pendaftaran desain
industri Ibu Vina ini akan dilimpahkan ke teman-teman yang lain.”<br />
<br />
“Memangnya temanmu ada yang menyanggupi Wi?”<br />
“Ada.”<br />
“<em>Let me guess</em>…Ida kan?.”<br />
“Yup!”<br />
“Itu berarti resikonya bulan ini kamu tidak mencapai target dan kemungkinan gajimu tidak penuh?”<br />
“Ya. Itu konsekuensinya Lin.”<br />
“Bisnis itu memang kejam ya Wi?”<br />
“Iya.
Kata dunia bisnis itu kejam dan kayaknya memang harus kejam. Tetapi aku
tidak mau ikut-ikutan kejam. Aku tidak mau sama dengan dunia. Uang
bukanlah segalanya.”<br />
<br />
“Aku tidak tahu harus membantu kamu
bagaimana Wi. Memang kalau urusan hak atas kekayaan intelektual kayak
begitu aku bukan ahlinya. Keahlianku hanyalah mengajar mahasiswa. Aku
hanya bisa memberikan saran. Berdoalah minta petunjuk pada Tuhan dan
ikutilah kata hatimu.”<br />
<br />
“Tidak apa-apa. Thanks ya Lin. Sekarang aku lega karena telah menceritakan semua pergumulanku ini padamu.”<br />
“Sama-sama
Non…Kalau kamu bisa tidur nyenyak setiap malamnya aku juga yang senang.
Aku jadi tidak terganggu dengan suara berisik di dapur setiap tengah
malam hehehe…”<br />
<br />
“Iiihh… dasar tukang tidur. Hehehe. Eh Lin, kita berdoa bareng ya. Bantu aku dalam doa.”<br />
Keduanya
pun melipatkan tangan, memejamkan mata dan tertunduk merendahkan diri
di hadapan sang pemegang kehidupan. Hati, jiwa dan pikiran keduanya
diletakkan di hadapan sang Maha Cinta. Ada ketenangan, kedamaian dan
sukacita yang mengalir dalam hati keduanya.<br />
<br />
***<br />
<br />
“ Lin…Linda acara empat mata-nya sudah mulai.” Dwi berteriak memanggil Linda. Acara empat mata dengan Tukul Arwana sebagai <em>host</em>nya
memang kegemaran mereka berdua. Setiap malam tidak pernah terlewatkan.
Dengan bersantai di sofa dan ditemani makanan ringan Dwi menyaksikan
acara favoritnya. Tak lama Linda pun menyusul duduk di sofa dan
menyambar makanan ringan. Keduanya mulai tergelak oleh kalimat-kalimat
lucu yang diucapkan si<em> Host</em> Tukul Arwana.<br />
<br />
“Oh iya Wi. Bagaimana masalahmu dengan Ibu Vina. Keputusan apa yang kamu ambil?”<br />
“Sudah selesai. Akhir bulan ini ada kemungkinan aku pinjam uangmu. Hehehe.”<br />
<br />
Linda
membelalakkan mata dan tersenyum jahil “Hhmm, enak aja. Hehehe. Tapi
okelah asal jangan bikin keributan lagi kalau tengah malam ya. Eh, aku
bangga dengan keputusan yang kamu ambil loh, Wi. ” Linda mengedipkan
sebelah matanya.<br />
<br />
“Hehehe. Thanks. Ya, satu hal yang
sekarang aku yakini Lin. Carilah dulu kerajaan Allah maka semuanya akan
ditambahkan kepadamu. Amin.” Keduanya pun tergelak.<br />
<br />
<strong>Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/l.php?u=http%3A%2F%2Fisibenaku.blogspot.com%2F&h=1AQGdajdh&s=1" rel="nofollow" target="_blank">Rellin Ayudya</a></strong><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di
cerpuni@gmail.com </em><br />
<br />
<em> GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6509118348276373130.post-24674659542571044192012-03-25T21:12:00.000+07:002013-07-25T04:21:11.111+07:00Adakah Langit Seindah Ini Esok?<div class="notesBlogText clearfix">
<span class="photo "></span><br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCxQxb3SXbPFmhTIO7xMkQeoOQ1zqdC6V5RKJJdx_1dKt36Kaoz1zZE5leS1_tzUMVjtCXecvRjOWOl-2BCveVbe7NSK9jaD0MZvvr3AehZ9fujWsbAUOZTRwAsSjK0m5VZgWQ1oDJW7hU/s1600/400089_307849655926489_343991803_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="152" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCxQxb3SXbPFmhTIO7xMkQeoOQ1zqdC6V5RKJJdx_1dKt36Kaoz1zZE5leS1_tzUMVjtCXecvRjOWOl-2BCveVbe7NSK9jaD0MZvvr3AehZ9fujWsbAUOZTRwAsSjK0m5VZgWQ1oDJW7hU/s320/400089_307849655926489_343991803_n.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Aku
memandang langit. Rasa syukur dan damai tak terucapkan muncul ketika
aku bisa merasakan panas matahari menghangatkan tubuhku... atau saat
melihat langit malam dengan bulan, bintang-bintang, dan awannya yang
menggantung indah di tengah langit biru...<br />
<br />
Sering aku
menyesal, kalau aku sedang malas bangun pagi saat liburan. Tak bisa
rasakan cahaya matahari yang begiiiitu indah. Aah...kalau saja aku
bangun lebih pagi.<br />
Kalau tak libur, sama sekali aku tak dapat
menikmati cahanya yang lembut itu.. Aku hanya bisa memandang langit dan
awannya yang mengapung dengan indah, dikombinasikan dengan cahaya
matahari pagi, dari atas motorku..ah...indah sekali. Siapakah yang
membuat ini semua?<br />
Kalau sore hari tiba... biasanya aku tak bisa
merasakan indahnya matahari. Aku sibuk dengan teman-temanku di kampus.
Aku sibuk mencari cara untuk mencuri pandang orang yang kusuka. Aku
sibuk dengan tugas dan kegiatan kampus yang semuanya di lakukan di dalam
gedung!<br />
<br />
Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/kimmykeziasitorus">Kimmy Kezia</a><br />
<br />
Tapi aku ingin. Ingiiiin sekali menghabiskan waktuku dengan menikmati mentari sore hingga ia terbenam kembali.<br />
<br />
Langit malam, langit malam, dimanakah aku bisa melihat langit malam yang indah? Di rumahku, langit malamnya indaaah sekali..<br />
***<br />
“Panas!”<br />
“Aduh, kulit gw nanti gosong!”<br />
Ucapan-ucapan seperti itu kadang membuatku gatal! Huh, tak bersyukurkah mereka? Lihat! Matahari itu bersinar untuk siapa?<br />
Uh...tak bersyukurkah?<br />
<br />
Sementara langit malam? Ah..aku ragu ada banyak orang yang masih mau menikmatinya. Orang-orang sibuk <em>hangout</em> maupun mengurung diri di kamar mereka, sibuk dengan alat elektronik di dalam rumah mereka.<br />
<br />
Aku..aku sangat senang jika punya kesempatan melihat langit yang seindah itu...<br />
Aku selalu bertanya dalam hati, ‘besok masih adakah langit seindah ini?’<br />
Bagiku...langit
dan segala penghiasnya adalah harta yang begiiitu berharga. Tak
ternilai. Karena itu, jika langit hari ini abu-abu, aku cemas. Aku cemas
harta itu telah dirampas. Dirampas oleh awan abu-abu. Oleh
karbondioksida. Oleh lampu-lampu pencakar langit. Oleh <em>billboard</em> ratusan bahkan ribuan <em>watt </em>dipinggir
jalan. Oleh efek rumah kaca. Oleh polusi-polusi yang tak terkira lagi
jumlahnya. Direnggut oleh keegoisan manusia. Oleh ambisi-ambisi
manusia...<br />
<br />
Oh, bisakah ku lihat kembali langit yang indah besok?<br />
<br />
Tuhan,
Kaulah pembuat langit itu. Maukah Kau tunjukkan lagi pada mereka langit
yang begitu indah hingga mereka menyadarinya? Hingga mereka mengucap
syukur karenanya? Hingga mereka memandang-Mu dengan takjub dan penuh
rasa syukur?<br />
<br />
<em><strong>Ditulis Oleh <a href="http://www.facebook.com/kimmykeziasitorus">Kimmy Kezia</a></strong></em><br />
<br />
<em>Kalo
kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik
share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di
cerpuni@gmail.com </em><br />
<br />
<em> GBU :)</em></div>
Satria Adhihttp://www.blogger.com/profile/00128370677545047831noreply@blogger.com0