Breaking News
Loading...
Saturday, April 28, 2012

Berani Beda

Hari hampir pagi tapi mata Dwi belum juga terpejam. Terdengar suara kendaraan yang sesekali melintas di kejauhan dan nyanyian burung hantu di sebuah pohon dekat apartemennya. Dwi terbaring dengan gelisah, semakin dipejamkan matanya semakin dia terjaga. Tubuhnya menggigil kedinginan yang tanpa disadarinya rasa dingin itu bukanlah karena pikiran-pikirannya melainkan dari jendela yang lupa ditutup. Tak tahan Dwi bangkit dari tempat tidur dan keluar menuju dapur. Diambilnya gelas, dituangkannya susu dan air panas. Aroma susu coklat menusuk hidungnya. Dwi percaya susu coklat dapat membuatnya rileks.
“Wi, sedang apa kamu?”

“Hhmm? Oh, biasa aku bikin susu. Kamu belum tidur Lin?”
“Aku tadi sudah tidur tapi terbangun oleh suara berisik dari dapur.”
Dwi tersenyum melihat Linda yang masih mengantuk. Dwi duduk di sofa sementara Linda membaringkan dirinya di sofa panjang. Dwi menghidupkan TV di depannya namun tidak ada acara yang menarik bahkan beberapa stasiun sudah berhenti menayangkan acara.

“Ya ampun Wi. Ini sudah jam dua pagi. Memangnya masih ada acara di TV?”
“Aku juga tahu ini sudah jam dua. Aku cuma iseng ko’. Kalau mau tidur lagi di kamar sana Lin.”
“Nanti ah. Eh, Wi. Kamu kenapa sih sudah beberapa hari ini kayaknya tidak pernah tidur?”
“Aku insomnia. Makanya aku bikin susu coklat ini biar bisa tidur.”
“Memang ada efeknya? Aku lihat walaupun kamu sudah minum susu coklat itu tiap malamnya tetap saja tidak bisa tidur?”
“Iya juga sih. Tapi paling tidak aku agak rileks.”
“Kamu kelihatan gelisah Wi, pasti ada masalah ya?”
“Sok tahu.”
Linda bangkit dan duduk di sofa menghadap Dwi. Diambilnya gelas yang berisi susu dari tangan Dwi dan diletakkannya di atas meja “Ayo sekarang kamu cerita ke aku!”
“Cerita apa Lin?”

“Wi, aku ini sahabat kamu kan? Kita berteman sudah bertahun-tahun. Kita sama-sama merantau di kota ini. Masa sekian lama kenal, kamu belum percaya juga sama aku?”
“Hehehe, kamu tuh lucu Lin. Ko’ kamu jadi sentimentil begitu?”
“Hei Non…Kita tinggal di apartemen ini sudah tahunan. Jadi aku tahu kalau kamu insomnia kayak begini pasti kamu lagi ada masalah. Ayolah cerita dong!”
“Cerita apa?”
“Iiihh…jual mahal amat sih. Oke biar kutebak. Kamu pasti lagi ada masalah sama Aldi?”
“Iih apaan sih. Aku sama Aldi itu baik-baik saja. Tidak ada masalah.”

“Hhmm kalau begitu kamu pasti habis berantem dengan si Ida rekan kerjamu yang rese itu?”
“Kamu salah. Sudah ah. aku mau tidur lagi.”
Linda belum mau menyerah juga. Diikutinya Dwi masuk kamar.
“Lin, kalau tidur di kamarmu sana.”

“Aku belum mau tidur lagi ko’. Aku mau mendengarkan curahan hati kamu.”
Linda naik ke atas tempat tidur Dwi dan menunggu. Dwi menghela nafas melihat kegigihan teman sekamarnya itu. Dia pun naik ke tempat tidur dan duduk menghadap Linda.
“Oke, aku akan ceritakan semuanya Tapi kamu harus menjaga kerahasiaannya.”
“Oke.” Linda tersenyum

“Aku sedang bingung. Tiga hari yang lalu aku bertemu klien. Kamu ingat Ibu Vina yang pernah kuceritakan dulu?”
“Hhmm Ya. Yang mendaftarkan sepuluh merek sekaligus itu kan?”
“Yup. Nah, tiga hari yang lalu aku bertemu dengannya. Ibu Vina mau mendaftarkan Desain Industrinya. Ada sembilan desain yang mau didaftarkan.”

“Wah, bagus dong Wi. Itu berarti kamu dapat bonus banyak sekali. Terus masalahnya apa? Hhmm, pasti si Ida itu tidak senang dengan kesuksesan kamu itu. Dia sinis lagi sama kamu ya?”
“Iihh bukan itu. Kalau masalahnya karena Ida sih tidak akan membuat aku insomnia kayak begini. Rugi.”
“Lah terus apa dong masalahnya? Seharusnya kamu senang akhir bulan ini bisa gajian banyak.”

“Yah, aku bingung saja. Ibu Vina ingin mendaftarkan desain industrinya karena dia tidak ingin didahului oleh Pak Anto yang memiliki soft furniture. Ya, kalau masalahnya karena tidak ingin didahului, itu tidak masalah Lin. Yang jadi masalah nanti kalau desain industrinya Ibu Vina sudah didaftarkan dia mau menuntut Pak Anto untuk menghentikan produksi desain yang sama.”

“Setahuku, itu memang hak pendaftar kan? Hak apa, yang kamu bilang dulu?”
First to file. Iya memang dia berhak tetapi sebenarnya Ibu Vinalah yang meniru desain Pak Anto.”
“Ya sudah kalau begitu kamu datang saja ke Pak Anto dan suruh dia mendaftarkan semua desainnya terlebih dahulu.”
“Masalahnya Pak Anto itu murah hati sekali. Dia tidak keberatan kalau desain-desainnya dia ditiru oleh orang lain. Padahal bisnis dia bisa saja terancam.”

“Hhmm, bingung juga sih. Pak Anto yang menciptakan desain, tapi nanti dia yang dituntut Ibu Vina kalau sampai Ibu Vina mendaftarkan desainnya terlebih dulu. ”

“Selain itu Ibu Vina sedang terlibat konflik dengan suaminya. Ibu Vina ingin mendaftarkan desain-desain industri atas namanya sendiri tetapi suaminya menginginkan pendaftaran atas namanya. Pak Wawan suaminya Ibu Vina tidak rela jika nama istrinya yang dipakai untuk mendaftarkan desain industri mereka, karena Pak Wawanlah direkturnya.”
“Wah…pelik juga ya masalahnya. Terus kamu sudah konsultasi belum dengan teman-teman kantormu?”
“Sudah.”
“Saran mereka apa?”
“Saran mereka sih biar Ibu Vina menyelesaikan dulu masalah dengan suaminya. Agar ada kesepakatan di antara mereka.”

“Kalau masalah dengan Pak Anto, saran mereka apa?”
“Aku disuruh membujuk Ibu Vina untuk tidak menuntut Pak Anto. Apalagi Ibu Vina sendiri mengakui bahwa desain industri yang akan dia daftarkan itu tidak original.”

“Ya sudah kamu lakukan saja sesuai dengan saran dari teman-temanmu itu Wi.”
“Aku juga inginnya begitu. Tapi kemarin masalah ini terdengar oleh atasanku, Pak Wahyu. Dan saran yang diberikan Pak Wahyu itu berbeda dengan saran dari teman-teman.”
“Memangnya dia menyarankan apa?

“Pak Wahyu bilang kalau aku jangan sampai terlibat dengan konfliknya klien. Jadi kalau Ibu Vina akan mendaftarkan desain-desain industrinya dan setelah itu dia akan mensomasi Pak Anto, biarkan saja. Aku hanya membantunya mendaftarkan, kalau masalah mensomasi aku lepas tangan itu bukan urusanku lagi. Sedangkan untuk masalah Ibu Vina dan suaminya aku disarankan untuk menghubungi Ibu Vina dan juga Pak Wawan, siapa yang paling cepat membayar biaya pendaftaran, itu yang kita tangani. Tidak masalah memakai nama Ibu Vina atau suaminya.”
“Wah…Bos-mu money oriented sekali ya Wi.”

“Yang jadi pikiranku Lin. Semua yang disarankan oleh Pak Wahyu itu tidak sesuai dengan hati nuraniku. Aku takut berdosa. Jika aku sekarang membantu Ibu Vina bagaimana nasib Pak Anto nanti? Padahal siapa tahu suatu saat Pak Anto mau mendaftarkan desain industrinya yang lain? Bagiku klien itu bukan hanya untuk saat ini tapi juga investasi untuk bulan-bulan yang akan datang. Sedangkan masalah Ibu Vina dan suaminya jika aku membantu salah satunya bukankah aku sudah membantu memperuncing masalah di antara mereka?”
“Iya juga sih Wi.”

“Pak Wahyu juga bilang aku tidak boleh emosional. Di dalam dunia bisnis ‘emotional will kill you’. Apalagi Ibu Vina itu klien potensial. Sudah beberapa kali dia mendaftarkan banyak merek, hak cipta dan juga desain industri. Semua ini menguras tenaga dan pikiranku Lin. Makanya aku tidak pernah bisa tenang beberapa hari ini. Dan pagi ini aku diminta mengambil keputusan. Apakah aku akan mengikuti saran dari Bosku itu atau urusan pendaftaran desain industri Ibu Vina ini akan dilimpahkan ke teman-teman yang lain.”

“Memangnya temanmu ada yang menyanggupi Wi?”
“Ada.”
Let me guess…Ida kan?.”
“Yup!”
“Itu berarti resikonya bulan ini kamu tidak mencapai target dan kemungkinan gajimu tidak penuh?”
“Ya. Itu konsekuensinya Lin.”
“Bisnis itu memang kejam ya Wi?”
“Iya. Kata dunia bisnis itu kejam dan kayaknya memang harus kejam. Tetapi aku tidak mau ikut-ikutan kejam. Aku tidak mau sama dengan dunia. Uang bukanlah segalanya.”

“Aku tidak tahu harus membantu kamu bagaimana Wi. Memang kalau urusan hak atas kekayaan intelektual kayak begitu aku bukan ahlinya. Keahlianku hanyalah mengajar mahasiswa. Aku hanya bisa memberikan saran. Berdoalah minta petunjuk pada Tuhan dan ikutilah kata hatimu.”

“Tidak apa-apa. Thanks ya Lin. Sekarang aku lega karena telah menceritakan semua pergumulanku ini padamu.”
“Sama-sama Non…Kalau kamu bisa tidur nyenyak setiap malamnya aku juga yang senang. Aku jadi tidak terganggu dengan suara berisik di dapur setiap tengah malam hehehe…”

“Iiihh… dasar tukang tidur. Hehehe. Eh Lin, kita berdoa bareng ya. Bantu aku dalam doa.”
Keduanya pun melipatkan tangan, memejamkan mata dan tertunduk merendahkan diri di hadapan sang pemegang kehidupan. Hati, jiwa dan pikiran keduanya diletakkan di hadapan sang Maha Cinta. Ada ketenangan, kedamaian dan sukacita yang mengalir dalam hati keduanya.

***

“ Lin…Linda acara empat mata-nya sudah mulai.” Dwi berteriak memanggil Linda. Acara empat mata dengan Tukul Arwana sebagai hostnya memang kegemaran mereka berdua. Setiap malam tidak pernah terlewatkan. Dengan bersantai di sofa dan ditemani makanan ringan Dwi menyaksikan acara favoritnya. Tak lama Linda pun menyusul duduk di sofa dan menyambar makanan ringan. Keduanya mulai tergelak oleh kalimat-kalimat lucu yang diucapkan si Host Tukul Arwana.

“Oh iya Wi. Bagaimana masalahmu dengan Ibu Vina. Keputusan apa yang kamu ambil?”
“Sudah selesai. Akhir bulan ini ada kemungkinan aku pinjam uangmu. Hehehe.”

Linda membelalakkan mata dan tersenyum jahil “Hhmm, enak aja. Hehehe. Tapi okelah asal jangan bikin keributan lagi kalau tengah malam ya. Eh, aku bangga dengan keputusan yang kamu ambil loh, Wi. ” Linda mengedipkan sebelah matanya.

“Hehehe. Thanks. Ya, satu hal yang sekarang aku yakini Lin. Carilah dulu kerajaan Allah maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Amin.” Keduanya pun tergelak.

Ditulis Oleh Rellin Ayudya

Kalo kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di cerpuni@gmail.com

GBU :)

0 comments:

Post a Comment

Copyright © 2013 Kristus All Right Reserved