Breaking News
Loading...
Tuesday, April 9, 2013

Sepatu

Sudah satu minggu rumah begitu sepi. Tak ada suara orang berbincang, tak ada suara televisi atau radio dinyalakan. Sepanjang waktu, dari pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam, hingga pagi lagi, yang terasa hanyalah dingin. Dan semakin dingin. Tak ada lagi kehangatan barang seteguk. Wangi aroma racikan bumbu yang dulu selalu tercium dari dapur di kala pagi kini telah sirna. Kata-kata rayuan untuk sarapan, apalagi.

Senandung lagu-lagu cinta disela gemericik air senyap sudah. Tiada lagi terdengar riuhnya canda tawa. Semua
lenyap tertelan derasnya ombak kehidupan. Yang tinggal hanyalah derit pintu, mempersilakan nyonya rumah untuk keluar di kala pagi. Kemudian diam, menanti waktu hingga sang nyonya kembali di kala hari telah larut.

Rumah itu tak lagi seperti rumah pada umumnya. Bahkan penampilannya pun layaknya rumah tak berpenghuni. Debu tebal dimana-mana, pohon perindang di depan rumah yang tak terawat mulai mengering. Daunnya berserakan memenuhi halaman. Mungkin si pemilik rumah terlalu sibuk, tak punya waktu untuk urusan yang demikian.

Hampir bersamaan dengan kepergian Dina untuk KKN di Blora, kira-kira lima pekan yang lalu, Wening semakin giat memberikan ceramah kepada Sabar. Kepergian putri semata wayang mereka laksana sebuah kesempatan emas bagi Wening. Setiap sore setelah pulang kerja, ada saja tema untuk mengkhotbahi suaminya yang ia sebut sebagai pria tak bertanggung jawab itu. Semangatnya begitu menggebu-gebu. Kadang ia juga begitu ringan mengangkat telunjuknya untuk menuding muka Sabar di sela rentetan kalimat yang amat pedas itu.

Pagi ini di kantor, Wening terlihat begitu serius. Tangannya memegang sebuah benda. Matanya begitu teliti mengamat-amati benda itu. Benda yang sangat istimewa, salah satu pemberian Sabar dikala mereka menikah dulu. Benda yang sempat ia simpan selama dua puluh tiga tahun. Benda itu masih utuh, masih mulus. Warnanya pun masih sama seperti dulu di saat ia membukanya dari dalam kotak bingkisan berwarna merah jambu. Benda yang selalu rela diinjak-injak untuk melindungi tuannya. Benda yang sarat akan makna: sepatu.

Tadi, tergesa-gesa melangkah karena dipanggil atasan, Wening sempat hampir jatuh karena sepatu dengan hak setinggi lima belas centi yang dipakainya itu. Spontan, ia duduk di kursinya, mengusap-usap kakinya yang terkilir dengan balsam dan melepas sepatu itu. Ia taruh begitu saja sepatu itu di atas meja. Tiba-tiba bak kaset film yang diputar ulang, dalam otaknya mengalir deras ingatan tentang pesan yang tersimpan di balik sepatu dengan warna favoritnya: warna ungu.

Begitu jelas tergambar di dalam ingatan, bagaimana dulu ketika ia duduk bersanding bersama Sabar, untuk mengucapkan janji setia untuk saling menerima di dalam suka maupun duka, sehat maupun sakit, kaya maupun miskin, hingga maut memisah raga.  Saat itu Wening begitu lantang mengucap janji sucinya.
Khotbah pendeta yang kala itu mengangkat tema Sepatu, seakan didengarnya kembali. Bergema begitu keras di telinganya. Dulu, ia mendapat bekal bagaimana ia harus bisa menjadi Istri: Ingat Suami Terus setiap haRI. Belum lagi bagaimana makna yang terkandung di dalam Sepatu. Pendeta mengatakan, pasangan suami-istri hendaklah seperti sepatu, yang tak pernah sama persis bentuknya, tetapi serasi. Tak pernah berganti posisi, namun saling melengkapi. Meski tak pernah berjalan bersama, tetapi selalu beriringan. Meski geraknya berbeda tetapi memiliki tujuan yang sama. Selalu setara, sederajat, sama tingginya, tidak tinggi sebelah. Dan tak akan memiliki arti lagi jika pasangannya hilang.

Wening mendesah. Di tariknya nafas dalam-dalam. Air matanya tak tertahan. Jawaban “Ya, dengan segenap hati” yang begitu tegas ia sampaikan di depan altar dulu, kini terasa menyiksa batinnya. Sejak Sabar di PHK dua tahun lalu, Wening kehilangan keseimbangan. Ia merasa dirinyalah yang kini menjadi tulang punggung keluarga.
Mungkin ia merasa jenuh, tertekan. Mungkin juga galau, atau apalah namanya.

Dulu gajinya selalu utuh 100% masuk ke dalam rekening pribadinya. Biaya hidup sehari-hari selalu bersumber dari penghasilan Sabar. Ia tinggal acungkan saja jarinya untuk menunjuk apa yang ia inginkan. Kini setelah Sabar di PHK, Sabar seperti menghambur-hamburkan uang. Usahanya untuk berwiraswasta selalu merugi. Dari bertani jamur hingga membuka usaha laundry, belum pernah berhasil. Mungkin karena ketatnya persaingan, atau mungkin juga belum rejeki. Yang jelas, Sabar tak pernah menganggapnya sebagai takdir. Terakhir, Sabar mencoba beternak itik. Sayang usahanya kali ini pun tak begitu menjanjikan, meski masih terus ia perjuangkan. Malang, pekerjaan ini bagi Wening dianggap begitu jorok. Membuatnya turun prestise di kampus. Bagaimana mungkin seorang pembantu rektor bersuamikan peternak itik? Apa kata mahasiswanya jika mereka tahu!

Tiga bulan berlalu, keadaan belum membaik. Semakin parah bahkan. Sore itu, tak disangka Pendeta bertandang kerumahnya. Menanyakan kabar, yang dijawab dengan begitu terbuka oleh Wening. Ia sampaikan segala isi hatinya.
“Sudah hampir dua puluh lima tahun saya memendam rasa ini!”
“Apakah Ibu sudah berusaha memaafkan kesalahan suami Ibu?”
“Ya, saya memaafkan. Dengan tulus saya maafkan. Tetapi saya sudah tidak tahan. Sudah hampir dua puluh lima tahun Pak!”
Pendeta itu dibuatnya bingung. Tak mengerti maksud kata-kata Wening. Bagaimana ia bisa mengatakan kesalahan Sabar telah ia maafkan jika ia memendam kepahitan itu? Bagaimana ia bisa mengatakan telah memaafkan tetapi tak pernah melupakan kesalahan-kesalahan Sabar yang tampak sepele? Kata-kata “hampir dua puluh lima tahun” selalu ia bawa. Apakah sepanjang kehidupan rumah tangganya ia tak pernah mencintai suaminya? Tak pernah merasa bahagia? Atau mungkin hanya karena ia kurang bersyukur?
Seperti kentang yang terus ditimbun ke dalam karung. Setiap Sabar melakukan sesuatu yang dianggap salah, Wening menambahkannya ke dalam daftar timbunan kesalahan Sabar. Yang pada akhirnya membusuk, berbau dan menjadi beban berat bagi dirinya sendiri.
Suasana menjadi beku. Kaku. Semua diam. Sesekali Sabar melirik istrinya. Wening masih terlihat garang, merah membara.
“Dina belum pulang?” Pendeta mengalihkan pembicaraan, mencairkan kebekuan.
“Wah...pulang malam itu biasa Pak, bagi Dina. Bahkan kadang sering tidak pulang.” Papar Sabar terang-terangan.

Ya, sejak Dina mencium aroma konflik antara ayah dan ibunya, ia sering menjadikan skripsinya sebagai alasan untuk pulang malam, bahkan tidak pulang ke rumah. Sebenarnya Ia merasa tersiksa dengan sikap ibunya yang terus-menerus menyulut bara di rumah itu. Maka dari itu ia lebih memilih untuk menyingkir. Ia kini juga telah berubah. Pembawaannya sedingin salju. Penampilannya lusuh, tak lagi rapi dan ceria seperti dulu.

Waktu terus bergulir. Matahari yang setia menjemput pagi tak mampu memberikan asa baru yang penuh harapan demi datangnya kehangatan cinta. Sabar harus semakin bertambah sabar karena kini Wening tak mengijinkannya tidur di dalam rumah. Teras rumah adalah pilihan kedua setelah dinginnya tempat jemuran di atas rumah tak sanggup ia taklukkan.

Tak mampu lagi ia sembunyikan ketidakharmonisan rumah tangganya di depan tetangga, yang curiga dengan tingkahnya.
“Belum tidur Pak?” tanya Badrun yang kebetulan melintas pada suatu malam.
“Belum, cari angin.”
Siapa percaya dengan omong kosong Sabar? Dinginnya malam menusuk tulang ia kata cari angin?
Sebenarnya Wening telah beberapa kali mengusir Sabar. Tetapi Sabar tak bergeming. Ia tak mau meruntuhkan rumah tangganya begitu saja. Di dalam benaknya, ia berharap agar suatu saat bisa kembali rukun dengan istrinya. Walau mungkin lebih tepatnya ia masih sabar menunggu sampai istrinya mereda. Meskipun dirinya tak pernah tahu entah kapan itu bisa terwujud.

“Apa yang kau tunggu? Angkat kaki dari rumah ini atau aku tusukkan juga pisau ini ke tubuhku!” ancam Wening suatu ketika

Kejadian itu semakin memperkeruh suasana. Hampir satu minggu Dina tak pulang. Apa yang telah ia saksikan di rumahnya sendiri terasa lebih mengerikan dari film horor yang pernah ia tonton di sepanjang hidupnya.
“Apa yang harus saya perbuat Pak? Saya tidak mau keluarga saya hancur hanya karena tingkah istri saya. Apakah saya salah jika memiliki usaha ternak itik? Apakah itu terlalu menjijikkan? Jorok? Hina? Selama ini saya juga berusaha menggantikan tugas istri saya mengatur rumah tangga. Mungkin memang sedikit aneh karena tugas kami seperti tertukar. Tetapi lihat sekarang! Sejak saya tak boleh masuk ke dalam rumah, bahkan tak boleh menyentuh perabotan di dalam rumah. Rumah tak lagi terurus, cucian menumpuk, debu dimana-mana, tak layak tempat tinggal itu di sebut sebagai rumah. Bahkan yang paling parah, sekarang anak kami satu-satunya, Dina, tak lagi tinggal bersama kami, entah dimana dia. Saya coba menghubungi nomor HPnya, saya cari dia ke rumah teman-temannya, saya tunggu dia di depan kampusnya, tetapi hasilnya nihil. Apa yang mesti saya perbuat Pak? Pasrah saya, pasrah...” Sabar mencurahkan isi hatinya kepada Pendeta.

“Tetaplah mengasihi dengan sabar, dan tetaplah berdoa” hanya itu pesan Pendeta. Singkat, tetapi tak mudah. Sabar diam, dalam hati ia berpikir, apa alasan orang tuanya dulu memberinya nama Sabar? Apakah memang untuk menanggung beban berat seperti yang ia terima sekarang?

Memaafkan dan melupakan setiap kesalahan yang dilakukan Wening, seakan harus menjadi menu wajib Sabar setiap hari. Bertemu tetapi tak ada senyuman, tatapan kasih, apalagi sapaan. Kadang Sabar merasa sangat disepelekan, direndahkan. Pepatah 'tak ada uang abang dibuang' adalah ungkapan yang sangat cocok untuk disandangnya sebagai gelar.

Sore hari, Wening pulang lebih awal dari biasanya. Sesuatu yang sangat tidak lazim. Apalagi ia terlihat begitu bersemangat untuk menemui lelaki lima puluh tahun yang masih sah sebagai suaminya itu. Wening menyapa Sabar dengan nada yang begitu lembut, dengan senyum simpul dibibir merahnya. Tanpa amarah. Akh... mungkinkah tirai mulai terbuka???

Mungkinkah sepatu pemberian Sabar berhasil mengingatkan Wening akan janji sucinya terhadap pernikahan yang telah ia sepakati tanpa paksaan di kala itu? Apakah Wening akan menggenapi pesan tersirat dari sepatu? Apakah Wening telah meruntuhkan keegoisannya? Atau mungkin ia telah menyadari bagaimana seharusnya ia menerima Sabar apapun dan bagaimanapun keadaannya? Bukankah ia masih sudi mengenakan sepatu pemberian Sabar itu?

Dengan menahan derai air mata Wening menghampiri Sabar dan berlutut didepannya. “Maafkan aku Mas, aku begitu egois. Kebersamaan kita selama ini tak kuanggap. Pengorbanan dan cintamu selama ini aku abaikan. Aku terlalu sibuk mengasihani diriku sendiri, sampai aku lupa segalanya,” aku Wening penuh penyesalan. Ia semakin tertunduk dan semakin membungkuk. Namun belum sampai ia mencium kaki suaminya, Sabar telah lebih dulu menarik bahu Wening, mengajaknya berdiri dan merapatkannya dalam dekapan. “Disinilah tempatmu, bukan diujung kaki. Karena kamu adalah tulang rusukku, pelindungku,” bisik Sabar diakhiri dengan kecupan di kening Wening. Wening semakin terisak. Ia dekap erat tubuh Sabar sambil membisikkan: “Terima kasih untuk sepatu itu, sepatu itulah yang telah menyadarkanku Mas. Engkau memang begitu sayang padaku. Hanya saja aku yang selama ini tak mempedulikanmu...” “Sstttt... sudah!” Sabar menghentikan Wening. “Yang penting sekarang kita memulai hidup baru dan mengisi hari-hari kita dengan cinta.” “Dan aku mau memperbaharui janji kita supaya kita bisa mewujudkan janji kita untuk sepatu,” sahut Wening sambil menahan isak tangis. “Sejalan Sampai Tua,” ucap Sabar dan Wening bersamaan. Dari kejauhan Dina melihat ayah dan ibunya yang tengah berpelukan. Ia mendekat, namun tetap berusaha agar tak terlihat oleh Sabar dan Wening. Jantungnya berdegup kencang. Matanya basah. Ia berbisik lirih: “Terima kasih, Tuhan. Engkau baik!”


Ditulis Oleh Endang Lestari

Kalo kamu suka tulisan ini, bantu kita menyebarkannya dengan mengklik share/bagi yah! Ditunggu juga cerpen dan puisi kamu di cerpuni@gmail.com

GBU :)

1 comments:

  1. The slot machine, the historic antecedent for which came from close by Brooklyn in the 19th century, is a curious system. As a Nevada regulator notes in Addiction By Design, it's the only "sport in Nevada where the player does not know what his odds are". For most of its life, they had been small beer; 카지노사이트 low-stakes blandishments for little old ladies, one thing you plugged a quarter into when you waited in your flight house from Vegas.

    ReplyDelete

Copyright © 2013 Kristus All Right Reserved